Aku menulis maka aku belajar

Saturday, May 27, 2017

Didin dan Belitan Cacing Sonari

Tampaknya hukum dan aparat hukum di negara ini makin menjauh dari rasa keadilan sosial. Hukum dan aparat hukum bak macan yang garang mengaum menakuti rakyat kecil tapi sesungguhnya macan ompong untuk "mengigit" para penjahat kelas kakap.

Fakta itulah yang sedang dijalani oleh Didin, seorang pekerja serabutan di Bogor. Sehari-hari dia adalah penjual jagung bakar hingga suatu hari ditangkap dengan tuduhan merusak kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tuduhan merusak hutan ditimpakan pada Didin yang suatu hari memasuki hutan untuk mencari cacing sonari. Aktivitas mencari cacing sonari ini sudah sering dilakukan oleh warga desa sekitar karena jenis cacing ini biasa dikonsumsi sebagai "obat tradisional" (tipus, demam). Hal itu diakui oleh sejumlah peneliti ekologi.

Namun, tuduhan yang ditimpakan oleh polisi hutan taman nasional kepada Didin sangat ganjil. Pasalnya, Didin dituduh merusak kawasan taman nasional itu (penebangan pohon) seluas 35 hektar karena aktivitasnya mencari cacing sonari. Lebih aneh lagi, tidak ada tersangka lain selain Didin. Bisa dibayangkan, ada seorang petani miskin yang mampu menebang pohon di kawasan hutan seluas 35 hektar seorang diri hanya dalam waktu 2 minggu?

Pihak polisi hutan menyatakan bahwa Didin mempunyai "kaki-tangan" sekitar 40 orang yang digerakkan untuk menebang pohon pada kawasan hutan seluas 35 hektar. Tapi hanya Didin yang ditangkap bahkan tanpa barang bukti apapun. Adison, kepala polisi hutan taman nasional, menyatakan bahwa Didin mencari cacing sonari dengan cara menebang pohon-pohon karena cacing itu waktu kecil masih di atas pohon, nanti waktu besar baru jatuh ke tanah. Penjelasan yang bagi saya sangat absurd.

Padahal menurut Didin, untuk mencari cacing sonari tidak perlu sampai masuk jauh ke dalam hutan apalagi menebang pohon karena cacing sonari bisa didapatkan di akar-akar tanaman pakis. Cukup mencabut tanaman pakis lalu mengais bagian akarnya maka bisa didapat cacing sonari di situ.

Tentang tuduhan kepadanya, Didin pun tak mengerti. Suatu hari dia diminta oleh seorang cukong untuk mencari cacing sonari. Pada hari itulah dia ditangkap oleh polisi hutan dengan tuduhan merusak kawasan taman nasional seluas 35 hektar serta ancaman dipenjara 10 tahun. Adison menyatakan bahwa proses penyidikan kasus ini masih berlangsung kendati sudah 2 bulan belum ada tersangka lain selain Didin, petani dan penjual jagung bakar yang miskin. Didin kini sudah "dititipkan" di tahanan polres sampai menunggu pengajuan berkas perkara ke tingkat pengadilan.

Kasus Didin sebenarnya merefleksikan rapuhnya rasa keadilan dalam proses penegakan hukum di negeri ini. Rakyat kecil-miskin selalu menjadi pihak yang dikambinghitamkan, dipinggirkan, disingkirkan dan dihancurkan hidupnya hanya untuk menjaga kepentingan kaum kapitalis besar yang "berselingkuh" dengan aparat negara (sipil dan militer). Mereka memuaskan hasrat keserakahan harta dan kuasa dengan mencuri habis-habisan sumber daya alam hanya untuk membiayai gaya hidup extravaganza yang rakus tanpa batas.

Jika kita mau membuka mata dan telinga kita akan menemukan realitas "Didin" di sekitar kita. Siapakah yang akan membela mereka di hadapan keangkuhan hukum?

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces