Aku menulis maka aku belajar

Friday, November 11, 2016

Festival Bahasa Hitu


Hari Minggu, 2 Oktober 2016, mendapat panggilan telepon dari Upulatu Sitania (Raja Hitulama), Salhana Pelu, yang mengundang datang ke Negeri Hitulama mengikuti acara Festival Bahasa Hitu. Bergegas bersiap lalu menuju Hitulama.

Tiba di Negeri Hitulama, acara rupanya baru mulai. Beta tiba bertepatan dengan sambutan Upulatu Sitania, yang kemudian diikuti serangkaian sambutan-sambutan lainnya. Perhelatan ini digelar sebagai kerjasama Saniri Negeri Hitulama dan Balai Pengembangan Bahasa Provinsi Maluku.

Meskipun Upulatu memanggil untuk duduk bersama di jajaran undangan, beta menolak halus dan lebih memilih membaur bersama warga negeri yang memadati pelataran rumah Raja. Dengan begitu dapat mendengar dan mengamati respons publik negeri terhadap acara tersebut.

Acara ini digelar dengan nama Festival Bahasa Hitu di bawah tema Revitalisasi Bahasa Berbasis Komunitas. Ada beberapa mata acara seperti pembacaan puisi, lagu, tarian, drama permainan anak-anak, tuturan cerita rakyat hingga pidato yang semuanya dinarasikan secara bilingual: bahasa Hitu dan bahasa Indonesia. Perhelatan ini menyasar kelompok usia di bawah 40 tahun.

Dalam percakapan bersama Upulatu Salhana Pelu dan Sekretaris Negeri Eteng Pelu, keduanya menyatakan bahwa perubahan sosial, sistem pendidikan nasional (kewajiban berbahasa Indonesia dan lebih sering mengabaikan bahasa ibu masyarakat lokal) dan perkembangan teknologi komunikasi menjadi faktor determinan surutnya praktik berbahasa Hitu di kalangan kelompok usia tersebut. Secara perlahan, dalam 15 tahun terakhir penggguna bahasa Hitu, terutama anak-anak muda, kian menyusut secara signifikan. Anak-anak muda Hitu lebih banyak menjadi penutur pasif bahasa Hitu karena lebih aktif bertutur dengan dialek Melayu Ambon dan bahasa Indonesia formal, baik di sekolah maupun dalam pergaulan sebaya sehari-hari. Sebagai strategi awal, Upulatu mencanangkan program "wajib" berbahasa Hitu setiap hari Minggu, karena pada hari itulah seluruh anggota keluarga dalam tiap rumah tangga berkumpul. Orang tua pun dianjurkan untuk lebih sering berbahasa Hitu dalam percakapan dengan anak-anak. Demikian pula di sekolah-sekolah dasar hingga menengah atas, para guru dan murid diajak untuk berkomunikasi dengan bahasa ibu (Hitu).

Menariknya, baik Upulatu maupun sekretaris negeri merujuk pada pengalaman sejarah komunitas-komunitas negeri Kristen-Ambon yang sejak kedatangan kaum kolonialis dari Eropa telah kehilangan kemampuan berbahasa lokal Ambon. "Language death in Maluku", demikian sebutan oleh James Collins, peneliti bahasa Ambon dan Maluku Tengah. Tentu saja, sebagai orang Ambon dari Jazirah Leitimor beta merasa terpukul dengan pernyataan itu. Betapa tidak, jika sejarah itu ternyata menjadi pengalaman pembelajaran untuk mengantisipasi perubahan masa depan oleh basudara di Leihitu, bagaimana dengan negeri-negeri Sarane di Pulau Ambon dan Lease (kecuali Hulaliu) yang kini tak lagi menjadi penutur aktif bahasa ibunya sendiri? Masih tersisakah kegelisahan tentang hal itu? Ataukah semua kita terima saja sebagai kecelakaan sejarah dan enggan memulihkannya karena ibarat kanker kita sudah mengalami krisis identitas yang kronis? Entahlah.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces