Aku menulis maka aku belajar

Sunday, October 2, 2016

AMBON: Musik, Angin dan Laut



"Ambon ~ City of Music" punya cerita panjang dan bisa jadi beragam interpretasi atau versi. Kini itu sudah telanjur menjadi stempel entah pada pulau, masyarakat dan kebudayaan yang disebut Ambon itu. Biarlah masing-masing merajutnya menjadi narasi bersama tanpa perlu dipertegangkan mana yang benar.

Tapi, bisakah musik eksis tanpa bunyi? Dari manakah bunyi yang menjadi roh dari musik itu? Bagi orang kampung di pulau-pulau timur Indonesia, adalah alam sendiri yang melahirkan bunyi. Bunyi angin sibu-sibu menginspirasi siulan bernada. Bunyi debur ombak dan hempasan gelombang menghentak nada-nada cas-cas dan bum-bum. Bunyi suara serangga krik-krik menghidupkan sak-sik-suk gesekan berintonasi. Manusia yang hidup di pesisir pulau-pulau saling berkomunikasi dengan alunan bahasa atau rima yang naik-turun sesekali keras berlomba menutupi suara laut yang meninggi pasang dan turun menyurut. Maka lahirlah kresendo dan dekresendo. Pianosimo dan fortesimo hanyalah suara alam yang menuruti matahari dan bulan dalam hingar dan hening waktu.

Bagi orang pulau-pulau, musik itu adalah alam dan alam selalu menjadi jiwa dari musik. Dengar saja langgam "hasa-hasa pinggir pantai Ambone masuk teluk sungguh manise" hingga "beta berlayar jauh dari Ambone", atau lantunan "kamu-kamu meliputi gunung salahutu" hingga "nusaniwe tanjung alang labuan raja". Jika alam menjadi jiwa musik maka orang-orang pulau itu menjadi komposer, konduktor, sekaligus pelantun dan pemain dalam satu orkestra kolosal universal, yang merajut hidupnya dalam birama dan tangga nada kehidupan bersama alam: tanah, angin dan laut.

Jiwa yang bermusik adalah jiwa yang menorehkan tangga nada bersama alam: tanah, angin dan laut. Semuanya bernyawa. Maka jika beraneka sampah masih mengapung seolah hendak menyesaki laut, sesungguhnya kita belum bermusik. Karena dengannya jiwa musik hendak kita bungkam dengan sejuta sampah dan notasi-notasi kehidupan kita rajam dengan kejam agar terus bungkam. Kita pun menjadi tuli dan selalu salah menangkap nada-nada alam.

Ajarkan saja nada-nada alam, desahan angin, dan deburan ombak kepada anak-cucu kita, niscaya mereka hidup dengan musik bersama alam yang terus menginspirasi masa depan. Sebab musik bukan sekadar bunyi dari mulut kita yang terdengar oleh telinga kita. Musik adalah kita. Musik adalah manusia, yang merajut aneka beda nada menjadi harmoni. Jauh sebelum itu dirumuskan menjadi "pluralisme" atau "multikulturalisme", musik jiwa sudah mengajarkan kita menarasikan warna-warni dan tinggi-rendah nada menjadi cerita bersama. Cerita cinta manusia dan alam yang melahirkan kisah-kisah suci tentang tuhan yang mengasihi manusia. Itulah kebudayaan.

Bermusiklah!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces