Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, July 28, 2015

Tolikara

19 Januari 1999, tepat hari perayaan Idul Fitri, perkelahian antara 2 pemuda berbeda latar etnis dan agama tiba-tiba merembet dan membesar menjadi konflik sosial yang berlarut-larut dengan ribuan korban jiwa dan nasib pengungsi yang terkatung-katung selama bertahun-tahun.
17 Juli 2015, tepat pada hari perayaan Idul Fitri, segerombolan orang tiba-tiba datang membubarkan Sholat Ied - di halaman Koramil! - dan membakar fasilitas ibadah dan rumah-rumah penduduk di Tolikara.

Masih percaya ini hanya "kebetulan"? Belajarlah dari luka dan penderitaan kami rakyat Maluku tahun 1999-2005. Di negara ini tidak ada konflik yang "kebetulan" dan tidak diketahui oleh aparat sipil/militer negara. Birokrasi sipil/militer terstruktur kuat dan rapi dari "kepala" sampai "kaki", dari kepresidenan hingga administrasi desa. Mahasiswa mau demo saja sudah "ketahuan" agenda, rute dan penggeraknya; malah digebukin sampai belur berbabak-babak. Pengalaman membuktikan di negara ini, masyarakat sipil tak lebih "upil" yang tak akan keluar kalau tak dikorek-korek dan dipaksa keluar.

Sejak pecah "kerusuhan" Januari 1999, dengan segera pemerintah memfasilitasi pertemuan antara segelintir orang yang katanya wakil dua kelompok yang bertikai. Saling berpelukan dengan berlinang air mata lalu mengangkat sumpah untuk berdamai - disaksikan oleh pejabat sipil/militer daerah. Sungguh mengharukan! Tak berapa lama, karena "pertempuran" dua kelompok masih terus terjadi ditambah hasutan dari luar Maluku untuk berperang membela "kebenaran agamanya", Presiden Abdurrahman Wahid menegaskan "Biarlah orang Maluku yang menyelesaikan masalahnya!" lantas memerintahkan Polisi dan Tentara menahan kelompok-kelompok dari luar Maluku yang bersemangat agamis masuk ke Maluku.

Hasilnya? Ah, anda pasti sudah tahu. Setelah perjanjian damai pada awal yang penuh linangan air mata, konflik kian membesar dan mengganas hingga beberapa tahun selanjutnya. Lalu perintah Presiden Abdurrahman Wahid? Hanya angin sepoi-sepoi yang menyejukkan tanpa sedikitpun diindahkan. Apa kurang hebatnya polisi dan tentara Indonesia untuk membendung masuknya kelompok-kelompok dari luar Maluku ini? Malah kalau dihitung-hitung nyaris semua kesatuan sudah di-BKO-kan di provinsi kepulauan ini.

Baru saja saya membaca berita ada juga acara "berpelukan" dan "menangis" sebagai wujud perjanjian damai di Karubaga, Tolikara. Sungguh mengharukan! Sebagai warga negara Indonesia, besar harapan saya perjanjian damai ini langgeng. Juga pernyataan seorang pemuka agama bahwa "orang di luar Tolikara sebaiknya diam". Ini sungguh ketegasan hebat yang mengingatkan saya pada pernyataan Presiden Abdurrahman Wahid sebelumnya. Meskipun saya miris karena kalau ditilik dengan saksama, soalnya bukan semata-mata lokal. Bersamaan dengan itu pula saya membaca berita tentang kesiapan kelompok-kelompok tertentu untuk - lagi-lagi - "membela kebenaran" ala "superhero" dan berniat berangkat ke Tolikara.

Masih percaya ini suatu "kebetulan"? Dari lubuk hati paling dalam, saya hanya mampu berharap perdamaian terwujud di Indonesia. Bukan karena kita sudah lelah berkelahi dan berdarah-darah, tapi karena kita belajar dari pengalaman bahwa kita "rakyat sipil" hanya "pahlawan tanpa tanda jasa" yang dikenang melalui batu nisan alias korban (syukur-syukur masih diingat). Negara ini dibangun di atas kesepakatan bersama dengan mengakui keragaman budaya dan agama masyarakatnya. Jangan dibodohi dengan buaian "mayoritas-minoritas" dengan utak-atik kuantitatif. Hasil penataran P4 yang pernah saya peroleh dulu mengingatkan saya bahwa kita abai pada "kemanusiaan yang adil dan beradab" dan "keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia". Hidup Pancasila!

Omong-omong, saya selalu penasaran dengan kehebatan "aktor intelektual" yang selalu dibicarakan. Mungkin "dia" atau "mereka" ini sejenis mutan dalam sequel film X-Men.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces