Aku menulis maka aku belajar

Friday, March 23, 2012

Bapa Radja: In Memoriam

Tahun 1990 saat saya pertama menjejakkan langkah di halaman kampus UKIM Talake serta-merta saya mengenal nama Arnold Nicholas Radjawane, rektor UKIM saat itu. Sosok itu ternyata punya sombar tersendiri bagi masyarakat Maluku. Betapa tidak, Nick Radjawane atau yang biasa disapa bapa Radja ini juga adalah mantan ketua sinode GPM, cendekiawan Kristen pertama yang menggondol gelar “Sarjana Theologia” dari STT Jakarta, magister teologi dari Amerika Serikat dan doktor teologi (biblical studies) pertama jebolan Jerman. Sosok bapa Radja punya kharisma tersendiri di hati masyarakat Maluku dari berbagai latar belakang hidup. Malah ketika tahu saya masuk pendidikan teologi, oma saya menasihati saya begini: “Kalau jadi pendeta musti jadi pendeta yang pintar seperti Pendeta Nick Radjawane.” Waktu mendengar itu saya hanya mengiyakan saja. Baru kemudian saya mengerti arti nasihat oma saya itu setelah menjadi murid bapa Radja.

Episode pertama
Tahap-tahap awal kuliah di fakultas teologi adalah masa-masa sulit bagi saya. Baru mendengar nama-nama matakuliahnya saja sudah merinding: bahasa Yunani, bahasa Ibrani, bahasa Inggris Teologi, pengantar PB, pengantar PL, hermeneutika, dll. Berbahasa Indonesia saja masih belum “baik dan benar”, sekarang sudah berhadapan dengan bahasa-bahasa yang aneh itu. Tapi tidak ada pilihan. Seluruh kompetensi itu pun teruji pada semester-semester pertengahan saat mengikuti kuliah hermeneutika dari Dr. A.N. Radjawane. Bapa Radja adalah ensiklopedia berjalan. Pengetahuannya sangat luas, termasuk di luar disiplin ilmu teologi. Hardikan yang selalu terdengar kalau kami tidak menjawab pertanyaannya atau pasif di kelas adalah “Bodok, bodok, bodok… baca, baca, baca… Jadi pendeta jangan malas baca nanti dapa dibodohi oleh jemaat lalu sama-sama bodok”. Kami kadang tersenyum saja sebab hardikan itu disampaikan beliau dengan nada hardikan orang tua bukan umpatan yang menyakitkan hati.

Tidak cuma itu. Hampir setiap pertemuan kelas selalu saja ada buku baru yang disuguhkan kepada kami untuk dibaca. Parahnya, semua dalam bahasa Inggris. Tak hanya menyarankan membaca buku – ini yang sangat mengagumkan – di tengah kesibukannya beliau ternyata selalu mengecek di perpustakaan apakah nama-nama kami tercatat di buku hadir perpustakaan dan buku-buku apa saja yang kami pinjam. Luar biasa. Saya pernah ditugaskan oleh bapa Radja membersihkan perpustakaan pribadi beliau. Sungguh saya kagum. Koleksi buku di perpustakaan pribadinya sangat luar biasa. Alih-alih mengaturnya, saya malah asyik membolak-balik dan membaca sepintas beberapa judul. Tugas yang harusnya selesai 2 hari pun molor jadi seminggu. Tapi proses itulah yang membuat saya belajar: seorang cendekiawan hidup di antara buku-bukunya. Namun toh kami kadang-kadang kesal karena sudah dimarahi untuk pinjam atau baca buku di perpustakaan tapi buku yang dicari tidak ada karena sedang dibaca beliau.

Episode kedua
Kuliah hermeneutika oleh bapa Radja adalah kuliah yang paling mengasyikkan. Radjawane seolah-olah menjadi pemandu wisata yang dengan jelas-gamblang mengulas eksistensi Israel-alkitab dari semua aspek. Kalau Radjawane bicara tentang Israel-alkitab kami seperti sedang berwisata karena beliau menunjukkan setiap dimensinya dengan sangat detail. Kefasihannya dalam berbahasa Ibrani membuat studi Perjanjian Lama menjadi sangat mengasyikkan, terutama saat beliau melantunkan Mazmur dalam langgam Ibrani – saat itulah kami menyadari keindahan Mazmur sebagai sebuah nyanyian iman.

Konsekuensi dari panduan wisata itu adalah kami harus menguasai peta Israel-alkitab. Ujian Akhir Semester matakuliah hermeneutika adalah membaca peta buta Israel-alkitab. Susah. Menghafal peta Ambon saja belum mampu apalagi peta Israel-alkitab. Tapi itulah yang terjadi. Jauh kemudian hari saya pun mengerti manfaatnya. Ketika membaca teks PL saya dengan sendirinya sudah langsung membayangkan peta geografis sebagai konteksnya. Radjawane pula yang mengenalkan nama-nama “raksasa” studi biblika PL dan teologi: Gerhard von Rad, Martin Noth, Julius Welhaussen, Rudolf Bultmann, Jurgen Moltmann, Karl Barth, Paul Tillich, dll. Terserah apa penilaian orang, tapi saya selalu mengikuti jadwal khotbah ibadah Minggu oleh bapa Radja. Ada semacam perpaduan kecerdasan dan retorika yang mengagumkan.

Episode ketiga
Radjawane telah membuat saya jatuh cinta pada PL. Saya pun merancang proposal skripsi tentang kajian PL terutama Deuteronomi (bidang keahlian Radjawane). Saya berharap bisa mendalami Deuteronomi di bawah bimbingan Radjawane. Sayang sekali, saat proposal skripsi saya dibahas, Radjawane sedang menjadi dosen tamu di Fiji; ibu Eta Hendriks-Ririmase dan bapa Apet Damamain sedang studi doktor. Praktis tidak ada dosen pembimbing PL saat itu. Rapat dosen mengusulkan agar saya mengganti topik tapi saya tolak. Akhirnya diputuskan saya tetap dengan tema PL tapi bukan biblika murni melainkan etika PL di bawah bimbingan Pdt. Ely Kaihena, M.Th.

Untuk waktu yang lama kami tidak lagi bertemu bapa Radja yang memilih terlibat dalam aktivitas politik kepartaian dan terpilih sebagai anggota DPR-RI. Bahkan ketika saya berada di Jakarta pun jarang sekali bersua. Tapi sungguh mengejutkan ketika suatu kali beliau meminta saya dan Nancy untuk makan malam di rumah dinas Kalibata karena beberapa hari ke depan bapa Radja dan ibu Sien harus keluar. Mereka berencana pulang ke Ambon. Saat itu bapa Radja sudah sakit. Kami menghabiskan waktu 2 jam berbincang-bincang tentang banyak hal sebelum makan malam. Pada saat makan malam, saya meminta izin mengatakan sesuatu dan beliau bersedia mendengarkan. Saya hanya bilang: “Beta ni bapa pung murid. Sampai kapanpun tetap bapa pung murid. Hari ini beta ingin bilang sesuatu sebagai murid kepada gurunya. Kapan Arnold Nicholas Radjawane menuangkan ide-ide briliannya dalam bentuk buku? Dan kapan katong bisa mengatasi kemacetan kaderisasi pasca-Radjawane?” Radjawane terdiam.

Suatu ketika di Ambon, Radjawane memanggil saya dan Elifas Maspaitella. Beliau menyerahkan seluruh naskah lama dan meminta kami berdua mengetik ulang lalu mengedit untuk diterbitkan. Tapi sayang, “proyek” itu tidak jalan karena kondisi kesehatan bapa Radja menurun, padahal kami membutuhkan pendampingan beliau untuk revisi beberapa gagasan dalam artikel-artikel yang pernah ditulisnya.

Saya tidak tahu harus merefleksikan apa dengan seluruh perjumpaan saya dan bapa Radja. Saya sengaja menuliskannya dalam komposisi episode-episode untuk terus mengingatkan saya siapa Radjawane dan efek Radjawane terhadap kehidupan saya. Bagi saya ini lebih dari sekadar catatan saya tentang Arnold Nicholas Radjawane, tapi dialog kehidupan saya dengan beliau. Hardikan “bodok, bodok, bodok… baca, baca, baca…” terasa bak lecutan cemeti yang pedis tapi membuat saya selalu siuman untuk berpikir dan tidak berhenti belajar. Akhirnya, saya pun mengerti nasihat oma saya: “Kalau jadi pendeta musti pintar seperti pendeta Nick Radjawane”.

Selamat menempuh kehidupan yang baru bapa Radja!

Yogyakarta, 23 Maret 2012

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces