Aku menulis maka aku belajar

Saturday, November 12, 2011

11.11.11.plosokuning

Hampir di semua status dinding Facebook terpasang impresi terhadap paduan unik angka "11 November 2011" atau "11.11.2011" atau "11.11.11". Rupanya paduan ini punya pesona tersendiri karena dianggap hanya terjadi sekali seumur hidup manusia. Kecuali dari generasi ini masih ada yang bisa bertahan hidup sampai tanggal 11 November 2111. Ternyata tak cuma mempesona, tetapi pada beberapa status dinding FB ada yang berdoa supaya diberi berkat oleh Tuhan pada tanggal "istimewa" ini. Terserahlah. Setiap orang punya pemahaman, kepercayaan, dan harapan yang berbeda dalam membaca tanda atau simbol yang baginya dianggap unik dan langka. Mungkin dari situlah sebenarnya "religiositas" tertanam menjadi bagian dari eksistensi kemanusiaan kita, yang sekaligus membedakan manusia dari binatang atau makhluk hidup lain yang bukan manusia.

Saya juga merasakan sesuatu yang istimewa pada tanggal ini. Bukan karena ada mukjizat. Tidak pula karena tiba-tiba ketiban rezeki nomplok. Tetapi justru dari sebuah undangan untuk mengikuti pengajian Kitab Kuning di Masjid Pathok Negoro Plosokuning, Yogyakarta. Unik 'kan? Seorang pendeta Protestan dari Ambon diundang mengikuti pengajian di sebuah masjid di Yogyakarta. Namun, sebenarnya hal itu tidak terlalu unik karena undangannya disampaikan oleh Rahmadi Agus, teman seangkatan saya di ICRS Yogya, yang tinggal di Plosokuning.

Setiap Jumat malam di Masjid Pathok Negoro Plosokuning diadakan acara pengajian yang diambil dari pembacaan Kitab Kuning. Acara pengajian seperti ini tidak terlalu lazim di masjid-masjid lain sekitarnya. Salah satu keunikannya adalah "panggilan beribadah" dilakukan dengan menyanyikan Shalawat Nabi oleh kelompok musik rebana yang sebagian besar anggotannya adalah anak-anak muda. Ada 6 orang pemain rebana dan beduk kecil, serta 2 orang penyanyi. Selama kurang lebih 1 jam mereka menyanyikan puji-pujian untuk mengundang jamaah datang ke masjid.

Setelah itu, ketua ta'mir (pengurus) masjid mengambil alih acara dengan menyampaikan ucapan selamat datang dan beberapa pengumuman mengenai kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan beberapa hari mendatang. Semuanya disampaikan dengan bahasa Jawa Kromo. Lalu ketua ta'mir mempersilahkan khotib untuk melanjutkan acara pengajian. Kali ini khotibnya adalah sesepuh masyarakat. Selama hampir 2 jam sang khotib menyampaikan pesan-pesan religius dengan bahasa sangat sederhana tetapi mengandung makna mendalam. Dia menyampaikannya dengan tenang, dan pada frase-frase penting ia menekannya berulang-ulang. Saya yang tidak terlalu fasih memahami bahasa Jawa Kromo pun dapat mengikuti alur khotbahnya dan menangkap pesan rohaninya.

Saya mencoba merenungkan salah satu pesannya mengenai "eling" dan "kelingan". Dia mengatakan bahwa banyak orang (Jawa) menyamakan kedua istilah itu, padahal sebenarnya berbeda. "Eling" adalah suatu kesadaran yang terus-menerus menyertai manusia. Kesadaran itu adalah kesadaran akan keterbatasan dirinya dan karena itu mengakui kebesaran Gusti Allah SWT. Kesadaran itu harus terjadi setiap saat dalam aktivitas hidup manusia (bekerja, belajar, berdagang, dll). Sedangkan istilah "kelingan" lebih menunjuk pada sesuatu yang sudah terjadi atau pada masa lampau. Misalnya, "aku ingat pernah melakukan kesalahan". Seseorang yang "kelingan" bisa saja menjadi "eling" (sadar), tetapi bisa juga tidak. Oleh karena itu, manusia harus lebih menghayati "eling" itu dalam kehidupannya. Kalau manusia "eling" terhadap Gusti Allah SWT maka dia juga akan menghargai kehidupan dengan sesamanya dan alam sekitarnya.

Masih ada beberapa pesan rohani yang bermakna. Selain pengajiannya, apa yang saya hayati adalah penerimaan jamaah terhadap "orang asing" di tengah-tengah mereka. Tatapan pertama mereka terhadap saya seakan memancarkan rasa ingin tahu, tetapi serta-merta saya tidak terlalu merasa asing karena hampir setiap jamaah pengajian yang baru datang akan menyalami kami semua yang tiba lebih dulu tanpa pilih-pilih. Itulah yang membuat saya merasa diterima. Bahkan dengan ramah dan terbuka, usai pengajian, bapak Kamal, ketua ta'mir, masih bersedia berbincang-bincang tentang acara pengajian dan keunikan masjid Pathok sebagai salah satu cagar budaya yang dilindungi oleh Sultan Yogyakarta. Masjid ini, katanya, memiliki nilai historis yang panjang dan penting bagi masyarakat Plosokuning dan Yogyakarta umumnya.

Masih banyak hal yang ingin disampaikannya, tapi malam kian larut. Saya harus kembali ke tempat kos. Bapak Kamal mengundang saya untuk mengikuti serangkaian acara yang dilaksanakan oleh ta'mir masjid di waktu-waktu mendatang. Catatan ini mungkin adalah awal dari sebuah dialog praksis saya yang Kristen dengan saudara-saudara Muslimin/Muslimah di Plosokuning.

Semoga.

2 comments:

  1. tanggal 11 bulan 11 tahun '11 jam 11 lewat 11 menit... :D

    ReplyDelete
  2. Tanda waktu yang unik dengan momen yang unik pula... belajar untuk saling belajar, mendengar dan menghayati spiritualitas saudara2 beriman Islam... pengalaman yang luar biasa.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces