Aku menulis maka aku belajar

Saturday, September 24, 2011

Carita Orang Basudara

“Carita orang basudara” adalah ungkapan khas orang Maluku yang secara harfiah berarti “cerita di antara kaum kerabat”. Carita orang basudara biasanya terjadi pada saat pesta-pesta rakyat/budaya atau acara-acara keagamaan yang mempertemukan seluruh kaum kerabat kendati berbeda agama, latar belakang sosial, asal kampung dan tingkat pendidikan. Dalam suasana itu tidak ada segregasi sosial. Semua menyatu menjadi satu ikatan saudara. Di dalam momen semacam ini relasi-relasi formal luluh dan yang ada hanyalah “pawela” (senda gurau) dan “mop” (saling menceritakan kisah-kisah lucu). Bahkan hal yang paling sensitif pun ditanggapi sebagai ekspresi persaudaraan tanpa kecurigaan atau pretensi menghina. Semua ditanggapi sebagai bagian dari memperkuat ikatan persaudaraan. Itu sebabnya, salah satu kekuatan budaya orang Maluku adalah bercerita.

Nuansa itu sempat pudar saat Maluku digempur oleh konflik sosial beberapa tahun silam. Banyak sekali carita orang basudara kemudian terkubur dan digantikan oleh cerita-cerita formal yang sarat nuansa hipokrit atau bahkan cerita-cerita persaudaraan itu berubah menjadi cerita-cerita heroik penuh kekerasan dan darah. Setelah kondisi berangsur-angsur pulih - terutama pasca perjanjian Malino II - narasi-narasi rakyat itu kembali bermunculan yang kemudian membentuk mozaik perdamaian yang dituturkan kepada generasi berikut untuk menjadi pelajaran berharga.

Tak disangka saya turut merasakan nuansa carita orang basudara itu. Bukan di Ambon tapi justru di udara, dalam penerbangan dari Ambon menuju Jakarta. Saya duduk di tengah. Sebelah jendela duduk seorang Ambon (Kristen) dan di sebelah gang duduk seorang Ambon (Islam). Sejak pesawat take-off kami bertiga masih berdiam diri. Kebisuan pun pecah ketika di sebelah kiri saya hendak pergi ke toilet. Terpaksa saya (tengah) dan teman di sebelah kanan harus berdiri memberi jalan. Dari situ mulai terbangun percakapan.
Percakapan makin hangat ketika ternyata kami bertiga mempunyai teman atau kenalan yang juga dikenal bersama-sama. Alur cerita pun mulai maju-mundur. Bahkan mundur sampai masa-masa pertemanan di bangku SMA. Terus maju sampai komunikasi pertemanan yang sempat terputus akibat situasi konflik. Namun ternyata di balik riuh-rendah berita-berita konflik Maluku, banyak sekali narasi rakyat yang cukup menarik untuk disimak.

Kami bertiga - yang berbeda latar agama - saling bercerita bagaimana peliknya mengatur “strategi” untuk tetap berkomunikasi, berjumpa, dan bercerita di tengah-tengah situasi masyarakat yang tersegregasi secara geografis maupun sosiologis. Selalu saja ada cara sembunyi-sembunyi untuk saling melakukan kunjungan ke rumah para sahabat yang berbeda agama. AC pesawat yang semula dingin lambat-laun terasa hangat karena percakapan kami bertiga menjadi sebuah carita orang basudara. Kami membicarakan konflik dengan jujur dan transparan, hingga pada akibat yang harus ditelan oleh rakyat kecil. Serta-merta ada sebuah pesan penuh makna yang mengalir dari percakapan saya, Ris, dan Rus - yang menjadi disatukan oleh cerita kami bersama. Bukan oleh ideologi politik. Bukan pula oleh kepentingan ekonomi. Tapi semata-mata kami merasa identitas budaya kami menjadi lebih bermakna untuk menyatukan perbedaan yang ada.

“Carita orang basudara” itu terus mengalir hingga pesawat mendarat mulus di bandara Soekarno-Hatta Jakarta. Berat mengakhiri percakapan tersebut tapi toh kami harus berpisah menjalani tujuan kami masing-masing. Kendati demikian, penerbangan sekitar 3 jam itu telah menjadi sebuah diskursus yang mahal dan berharga tentang makna hidup dalam keberlainan. Keberlainan sebagai anugerah, bukan ancaman.

Percakapan 3 jam di atas wilayah angkasa Indonesia (Ambon-Jakarta) telah membawa kami ke dalam sebuah komitmen batin bahwa narasi-narasi persaudaraan mesti menjadi spirit perlawanan terhadap dominasi narasi-narasi formal yang tak berhati nurani; menjadi protes terhadap berbagai upaya membisukan aspirasi rakyat; menjadi bara yang terus menghangatkan arti hidup bersama dalam perbedaan. Pada titik itu, narasi-narasi persaudaraan semestinya terus mendasari hakikat “menjadi Indonesia”. Kita sedang terus “menjadi” dan karena itu benturan-benturan tak terhindarkan. Namun itu tetap bukanlah tujuan menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia tetap adalah merajut persaudaraan melalui narasi-narasi kehidupan dan kemanusiaan.

Meski batin remuk mendengar berita situasi tegang di Ambon, tetapi optimisme menjadi Indonesia tetap menyala karena selalu ada celah di mana cahaya harapan tembus di antara retakan-retakan tembok-tembok. Semoga!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces