Aku menulis maka aku belajar

Saturday, January 1, 2011

Nasiobolaisme


Ada semacam kebangkitan nasioanalisme yang merayapi sanubari setiap anak bangsa ini. Nasionalisme yang sontak membuncah dalam wujud yang sulit dicerna akal sehat setelah sekian lama kata "nasionalisme" hanya menjadi kembang gula pemanis mulut tapi getir dalam aktualisasinya. Ibarat virus yang sedang menjangkiti tubuh keropos. Menggerogoti hampir setiap ekspresi anak negeri ini.

Kebangkitan "nasionalisme" itu bukan karena semburan kata-kata bombastis para politisi di arena kampanye pil-pil yang ngetren di negeri ini: pilkada, pilpres, pilgub, dll. Bukan pula aksi vandalisme sekelompok manusia picik yang seenaknya membatasi orang lain melakukan ini dan itu, melarang beribadah di sini dan di sana, atau bahkan sok mengakrabi sang tuhan sambil mendepak sesamanya yang - katanya - kafir atau sesat. Kebangkitan semacam nasionalisme kali ini rasanya agak aneh, karena dia digulirkan oleh "bola". Ya, bola yang diperebutkan oleh 22 orang di lapangan rumput. Negeri kita beberapa minggu terakhir tahun 2010 seolah sedang terbius kemabukan sepakbola yang diperagakan dengan apik oleh timnas Indonesia.

Stadion penuh sesak dipadati oleh penonton dan supporter, termasuk presiden RI. Berbagai atribut timnas yang berlogo "garuda" laris manis dalam berbagai bentuk. Nama-nama yang ramai dibincangkan media pun tak lagi "gayus", "susno", dll. Institusi yang digunjingkan publik juga tak lagi "MK", "KPK", dll. Kini nama-nama yang menghiasi headline koran-koran nasional adalah Irfan Bachdim, Gonzales, Firman Utina, Bustomi, dkk... Mereka tampil dan dielu-elukan bak pahlawan yang seolah-olah sedang membasahi ruang-ruang nurani publik yang [di]kering[kan] oleh berbagai persoalan yang tak terpahami rakyat jelata.

"Nyanyian" para anggota dewan perwakilan rakyat tak lagi menggoda rakyat. Mungkin karena para "penyanyi"-nya memang banyak bersuara parau, sumbang, dan tak mengikuti harmoni notasi demokrasi. Sehingga semua saling bersahut-sahutan tanpa peduli lagi bahwa mereka hanya menjadi tontonan rakyat yang lebih memilih mengurut dada atau tertawa miris melihat dagelan-dagelan mereka yang sama sekali tak lucu. Apalagi kalau dibandingkan dengan aksi kocak Sule. Jauuuhh....

Rakyat kita seolah dihipnotis oleh pesona dewa-dewa baru yang berlaga di lapangan rumput hijau: mengoper, menyundul, dan melesakkan bola ke gawang lawan. Rakyat bersatu! Tak lagi tersekat warna atau bendera parpol. Tak peduli percaya tuhan yang mana atau bahkan tak percaya tuhan sekalipun. Nasionalisme ini adalah nasionalisme universal yang meleburkan rakyat dalam keindonesiaan yang sulit didefinisikan. Dalam nasionalisme ini tak ada yang saling mengafirkan atau menuding yang lain sesat. Rakyat lebih asyik "nonton bareng" di mana saja dan ngobrol tentang timnas daripada nonton sidang pura-pura para pengaku wakil rakyat. Dalam nasionalisme ini, para pembesar pun tunduk pada euforia rakyat; bukan mereka yang meneriakkan basa-basi nasionalisme, tapi rakyatlah yang menarik mereka untuk patuh pada nasionalisme ala rakyat.

Bagi saya, terlepas dari segala macam ocehan komentator sepakbola, ada suatu fenomena menarik yang saya namakan "nasiobolaisme". Sebentuk nasionalisme yang tergugah dari carut-marutnya manajemen persepakbolaan nasional kita. Nasiobolaisme adalah ideologi nasionalis yang terbangun dan terbentuk dari keterpurukan yang mendesak ruang-ruang wacana publik dalam ajang olahraga, yang selama ini hanya dilihat para pembesar negeri ini sebagai "mainan" rakyat atau bahkan ajang tawuran antarsupporter kesebelasan. Tapi kali ini, sepakbola menjadi primadona para politisi negeri ini. Para pembesar pun turut bersorak dalam euforia populis. Mengacung-acungkan simbol-simbol rakyat yang sebelumnya gengsi untuk dilakukan, karena pasti dianggap kampungan atau ndeso... ya karena sepakbola kita dianggap ndeso alias olahraganya wong-cilik.

Rakyat kali ini muak bicara nasionalisme. Mereka sedang mabuk nasiobolaisme. Nasionalisme yang hanya tergugah oleh dewa-dewa lapangan hijau, bukan meja hijau atau kemeja hijau, atau bendera hijau. Bila energi nasiobolaisme ini ujung-ujungnya hanya ingin dipolitisasi, berhati-hatilah karena euforia rakyat ini akan menjungkirbalikkan adagium-adagium politik basi para pembesar republik ini. Adalah lebih arif untuk membuka ruang-ruang publik ini dengan memberikan perhatian serius untuk merekrut kader-kader muda pesepakbola kita dan menjadikannya sebagai bagian dari program pembangunan nasional, ketimbang hanya ribut menyoal kenaikan gaji anggota DPR dengan segala fasilitasnya atau memaksa studi banding tanpa mentalitas "tanding". Hanya suka membandingkan tapi ogah "bertanding" meningkatkan mutu demokrasi dan kepemimpinan yang mumpuni.

Mentalitas "tanding" inilah yang perlu dipertajam. Dan untuk itu kita perlu berbesar hati belajar dari timnas Malaysia, yang tentu saja layak menikmati buah kemenangan mereka jika kita mau melihat seluruh keseriusan dan jerih-lelah mereka selama bertahun-tahun. Tentu saja perlu digarisbawahi: tidak ada naturalisasi dalam timnas Malaysia. Artinya, kemenangan mesti disiapkan secara matang, bukan instan. Karena itu ini bukan soal menang-kalah tapi soal strategi menyeluruh. Untuk itupun spirit sepakbola Malaysia layak disebut nasiobolaisme pada tahapan yang lebih matang ketimbang kita.

Kita pun berbangga tanpa harus menyebut diri "juara tanpa mahkota". Karena toh kita belajar banyak dari setiap pertandingan yang digelar. Mari kita sambut sang garuda yang sedang menebar semangat nasiobolaisme!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces