Aku menulis maka aku belajar

Monday, January 3, 2011

Imanuel


"Imanuel: Allah Menyertai Kita". Itu tema yang dipilih oleh Gereja Protestan Maluku untuk seluruh aktivitas perayaan Natal 2010. Saya tidak bermaksud menguraikan semacam kajian tema tersebut di sini. Hanya ingin sedikit berbagi refleksi tentang "Imanuel" itu.

Saya percaya Anda - terutama yang sudah lama menjadi Kristen - sudah sangat akrab dengan istilah tersebut. Setiap tahun terutama saat menjelang Natal, kata itu berulang-ulang kita dengar. Entah dalam tema Natal, khotbah, kajian teologis, dll. Atau bahkan Imanuel adalah nama Anda atau nama anak Anda. Karena begitu akrabnya istilah itu, sehingga tanpa pikir panjang kita bisa menyebutkan artinya. Imanuel: Allah Menyertai Kita! Namun, entah mengapa tiba-tiba terbersit pertanyaan sederhana dalam benak saya: "Bagaimana kita tahu bahwa Allah menyertai kita?" Pertanyaan sederhana yang mungkin saja kedengaran agak konyol jika Anda adalah seorang Kristen alkitabiah yang sejati.

Ketika pertanyaan itu saya ajukan kepada beberapa teman, reaksi mereka pun bermacam-macam. Ada yang dengan reaktif mengatakan: "Jelas dong, kan hidup kita ini pemberian Tuhan. Jadi itu tanda Allah menyertai kita"; "Yah, berkat-berkat dalam hidup ini adalah wujud penyertaan Tuhan"; "Kedamaian di hati adalah tanda Imanuel itu". Dan beberapa jawaban lainnya. Tentu saja semua jawaban itu merefleksikan pengalaman dan penghayatan iman setiap orang. Tidak ada yang salah dengan jawaban-jawaban itu. Tetapi pertanyaannya tetap menggantung: "Bagaimana kita tahu bahwa Allah menyertai kita?"

Saya tahu Anda bersama-sama dengan saya dan sebaliknya, tentu dengan suatu kesadaran yang konkret. Kesadaran itu diperkuat oleh tanda-tanda kehadiran saya dan Anda dalam satu ruang (atau situasi) tertentu bersama-sama. Bersama-sama artinya saya bisa melihat sosok Anda dan Anda bisa melihat sosok saya. Saya bisa memegang tangan Anda dan Anda bisa memegang tangan saya. Sehingga "kita" saling menyadari bahwa ada seseorang lain selain diri kita. Kita menyadari bahwa ada orang lain yang menyertai kita dalam suatu ruang dan waktu tertentu.

Lantas, bagaimana kita tahu bahwa "Allah menyertai kita"? Kita tidak pernah melihat sosok Tuhan itu seperti apa, apalagi memegang-Nya. Bagaimana kita bisa mengatakan Tuhan menyertai kita? Kita bisa mengurai panjang-lebar dengan jawaban-jawaban filosofis dan teologis. Namun, kita juga membutuhkan suatu kepastian konkret dan realistis, apa maksud dan implikasi dari pernyataan "imanuel" tersebut.

Bagi saya, salah satu pernyataan Yesus dalam beberapa kisah Injil memperlihatkan dengan tegas makna "imanuel" itu. Suatu ketika Yesus mengatakan: "Ketika Aku lapar engkau tidak memberi-Ku makanan; ketika Aku telanjang engkau tidak memberi-Ku pakaian; ketika Aku di penjara engkau tidak mengunjungi Aku; ketika Aku merasa terasing engkau tidak memberi Aku tumpangan". Setelah mendengarkan pengajaran Yesus, murid-murid-Nya bertanya: Guru, kapankah Engkau mengalami semuanya itu? Yesus menanggapinya dengan berkata: Segala sesuatu yang engkau lakukan kepada saudaramu yang paling HINA, engkau TELAH melakukannya kepada-Ku.

Bukan apa yang kita lakukan kepada saudara kita yang punya tabungan bermilyar-milyar; atau kepada yang punya jabatan hebat; atau yang punya koneksi luas. Tetapi justru apa yang kita lakukan kepada saudara kita yang PALING HINA itulah yang menjadi penanda tindakan kita yang konkret sebagai wujud cinta kepada Tuhan. Ada semacam kekuatan solidaritas kemanusiaan di dalam pernyataan Yesus itu. Tidak ada label agama, parpol, kelompok etnis, atau penanda identitas lainnya. Yang menjadi atensi bukan label identitas "kita" dan "mereka" atau "saya" dan "kamu", tetapi situasi kehidupan yang konkret dari kemanusiaan kita. Dalam situasi yang HINA, banyak orang kehilangan citra kemanusiaannya. Oleh karena itu banyak orang tidak mau menjadi kelompok yang terhina dan juga tidak terima kalau dihina. Situasi keterhinaan bisa memicu pertikaian. Agama A tidak terima simbol-simbol agamanya dihina. Pejabat A tidak terima kalau dirinya sebagai pejabat dihina. Parpol A menggugat ke pengadilan kalau ada parpol lain yang menghina atribut-atribut partainya. Dan sebagainya. Bahkan bisa dikatakan hampir semua konflik yang terjadi disebabkan karena seseorang tidak terima dirinya dihina.

Ternyata justru ke situlah, ke dalam situasi keterhinaan itulah, kita mampu menemukan makna kehadiran dan penyertaan Tuhan. Bukan dalam gegap gempita atau pesta pora, tetapi dalam kehinaan. Kehadiran dan penyertaan Tuhan hanya bermakna dalam solidaritas kepada orang-orang yang hina (atau dianggap hina) dalam hidup kita sehari-hari. Siapakah orang-orang hina ini? Kita menjumpai mereka tiap hari dalam kehidupan kita. Pelacur. Kaum homoseks. Gelandangan. Narapidana. Pemulung. Preman. Tukang Parkir. Pengamen. Pedagang asongan. Anda bisa menambahkan daftar ini.

Sedikit demi sedikit saya menyadari bahwa ternyata tanda "imanuel" itu bukanlah label identitas yang pasif, kaku, jumud, dan kering; melainkan suatu pilihan tindak yang aktif, dinamis, progresif, dan kaya makna. Pilihan tindak semacam itu bukan didorong hanya oleh "iman yang normatif" alias takut dihukum Tuhan. Tetapi pilihan tindak yang sungguh-sungguh dimotivasi oleh solidaritas terhadap orang-orang yang [di]hina. Solidaritas itulah yang menandakan bahwa Tuhan menyertai kita. Wajah dan kehadiran Tuhan tampak dalam wajah dan kehadiran orang-orang yang terhina di sekitar kita. Bukan dalam wajah berbedak tebal. Bukan pula dalam sosok macho yang menebar aroma parfum mahal produk luar negeri. Bukan pula dalam bungkusan busana bermerek Eropa atau Amerika. Tetapi dalam wajah kusam dan busana kumal, yang kerap terabaikan dalam amatan kita karena bagi kita, mereka bukan apa-apa.

"Imanuel" itu ternyata bukan janji Tuhan, melainkan tindakan Tuhan yang menggedor pintu nurani kita agar jangan rajin "melipat tangan berdoa" dan "menengadah ke atas". "Imanuel" ternyata adalah tindakan Tuhan yang mengajar kita secara konkret untuk "membuka tangan" dan "melihat ke sekitar" kehidupan kita. Imanuel itu adalah solidaritas kepada yang terhina atau dihina. Imanuel tidak mewujud dalam berkat-berkat material tetapi pada kesadaran untuk membagi berkat-berkat dalam hidup kita kepada sebanyak mungkin saudara.

Perayaan Natal GPM bertema "Imanuel" sudah berlalu seiring berlalunya Desember 2010. Namun, "imanuel" dalam arti solidaritas bagi saudara-saudara yang terhina tetap menjadi pilihan sadar kita menjalani hidup di tahun 2011. Kita memilih untuk menjadi bagian dari kehidupan kaum terhina dan terbuang. Tergantung apakah kita masih bersedia menanggung segala risiko dari pilihan itu. Tetapi rasanya tidak ada pilihan lain untuk merasakan penyertaan Tuhan dalam hidup kita, selain melakukan sesuatu bagi saudara-saudara kita yang terhina dan dihina. Solidaritas mengembalikan citra kemanusiaan dari kehinaan kepada kemuliaan sebagai citra Allah (imago dei). Cuma itu tugas kita sebagai gereja. Tak lebih, tak kurang.

Imanuel 2011!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces