Aku menulis maka aku belajar

Friday, January 21, 2011

E-Kakus


Sekarang memang zamannya pasang embel-embel “e”. Mulai dari e-mail, e-book, e-bay, e-journal, e-store. Anda pasti sudah tahu bahwa embel-embel “e” itu singkatan dari “electronic”. Jadi, semua kata benda yang dilekati oleh “e” itu dengan gamblang menunjukkan bahwa kata benda itu bernyawa karena dihinggapi roh “e” tadi. Semuanya seolah bergerak dan dinamis. Itulah yang menandai zaman ini – electric culture.

Tapi yang saya temui – ini pengalaman unik – adalah “e-kakus”. Weits… apaan tuh? Apakah ini sejenis temuan baru yang mengelektronikkan kakus? Ups, bukan itu. Embel-embel “e” di depan kata kakus bukan singkatan dari “electronic”, tapi “etika”. Ini lebih aneh lagi: etika kakus. Apa ada?

Ceritanya begini. Saya dan Kainalu (anak kami) tiba di Airport Internasional San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 1 Januari 2011. Kami berdua ingin mengunjungi Nancy yang sedang studi di Pacific School of Religion (PSR), Berkeley. Sekalian merayakan Natal dan tahun baru. Kami tinggal di Benton Hall. Kamar yang cukup besar tanpa kamar mandi. Kamar mandi dan kakus berada di ruangan tersendiri, serta digunakan bersama (kalau penuh ya bergantian).

Suatu pagi, saya pergi ke kamar mandi untuk kencing. Tapi… uaahh… di kakus banyak sekali “kotoran”. Jorok sekali, pikir saya. Apa kurang air di sini sampai tidak bisa “flush” setelah b-a-b? Atau, manusia-manusia penghuni gedung asrama ini sudah sangat supersibuk sampai hanya untuk menyiram kotoran di kakus saja tak sempat? Buru-buru karena tak tahan, saya tak sempat melirik secarik kertas yang melekat di bilik kakus. Penuh keheranan saya tanya Nancy tentang keanehan di kakus tadi. Dengan santai Nancy menjawab bahwa di asrama sini ada “quiet hours” antara jam 22.30 s.d. 6.00. Penghuni asrama yang buang hajat pada jam-jam itu diminta untuk “flush” 1 kali dalam kasus b-a-b. Kalau cuma kencing, ya tidak usah di-“flush”. Biarkan saja sampai pagi. Wuiiihhh….

Kenapa? Rupanya Benton Hall adalah salah satu gedung kuno yang konstruksi dindingnya lebih tipis, sehingga kalau orang keluar-masuk kakus dan sering-sering “flush” akan sangat mengganggu penghuni kamar yang bersebelahan dengan dinding kakus. Wah, rupanya sampai berak pun orang masih diikat oleh tatanan etika sosial. Ini yang saya sebut “e-kakus”. Suatu pola hidup yang mengutamakan etika hidup bersama, sehingga segala sesuatu dilakukan hanya demi menghormati privasi orang lain.

Quiet Hours
E-kakus itu memang hanya implikasi dari suatu kesadaran untuk respek terhadap keberadaan orang lain dalam hidup seseorang. Suatu tindakan kecil, yang bagi sebagian orang aneh kalau tidak dilakukan – apalagi di kakus – yang didasari dengan penghormatan kepada orang lain: ruang dan waktunya. Oleh karena itu, sang waktu pun dinarasikan dalam keheningan: quiet hours, saat teduh. Membiarkan kakus “jorok” selama beberapa jam, demi keheningan manusia dan haknya untuk menikmati keheningan itu.

Hidup kita pada zaman kontemporer ini nyaris tak henti berhiruk-pikuk. Gegap-gempita. Heboh. Pesta-pora. Teriak sana, teriak sini, termasuk maling teriak maling. Ribut. Riuh. Hiruk-pikuk itu tak hanya dalam wujud bunyi, namun juga pikir (yang tak bunyi, tapi tetap sibuk hilir-mudik di benak kita). Ya, termasuk saya yang sedang menulis ini. Kita tak berhenti bergerak dan ribut. Kita tak berhenti berpikir. Karena katanya “cogito ergo sum”. Banyak orang yang kelihatannya sunyi, padahal sebenarnya ribut, karena di gendang telinganya MP3 gedebak-gedebuk. Sunyi yang ribut. Hening yang garing.

Kita telah banyak kehilangan saat-saat hening. Keriuhan hidup telah melunturkan kualitas pikir dan nurani kita hingga tak lagi sempat menikmati hening. Saya teringat kisah Yesus. Di tengah hiruk-pikuk para pengikutnya, bahkan perdebatan para muridnya, Yesus masih punya waktu menyendiri dan berdoa. Menikmati keheningannya untuk menemukan dirinya, eksistensinya. Menceburkan dirinya dalam kabut malam dan pepohonan hanya demi sekejap hening. Bukan diam, tapi hening. Ia menikmati heningnya.

Keheningan itu tidak membawa Yesus menjauh dari dunia. Malah makin menyeret eksistensinya menyatu dengan pergumulan dunia. Keheningan itu tidak membuatnya terlena, malah terjaga. Hingga beberapa kali Yesus membangunkan murid-muridnya yang terlelap. “Tidak sanggupkah engkau berjaga-jaga denganku?” Dari keheningan itu pula Yesus menemukan etos yang ganjil: memberikan dirinya untuk ditangkap dan disalib. Etika yang memberi diri, bukan membela diri. Etika yang membiarkan dirinya dibenamkan dalam lumpur derita, tanpa menuding diri benar dan orang lain salah. Etika yang menghidupkan, bukan karena dia sok jagoan mengaku mesias, tapi keberanian untuk memikul derita itu dalam keheningan bagi dirinya dan membiarkan liyan (others) tetap hidup. Dan… semua itu dimulai dengan dan dalam hening. Quiet hours.

Saya tidak tahu apakah etika ini pantas juga disebut e-kakus, karena kakus pun sebenarnya tempat yang tepat untuk hening. Merasakan denyut lambung yang menggiling makanan, dan merasakan kenikmatan dalam tiap lepasannya. Masuk dan keluar dalam siklus biologis, sekaligus menyadarkan kita bahwa tubuh kita sebenarnya merupakan sebentuk ciptaan yang luar biasa dan karena itu pula sangat eksistensial. E-kakus itu melahirkan saat teduh. Hening.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces