Aku menulis maka aku belajar

Thursday, November 11, 2010

Kita Mengemis?


Alkisah, ada seorang raja yang matanya sakit. Ia pun memanggil tabib kerajaan untuk memeriksa matanya. Setelah mendiagnosa mata raja, sang tabib merekomendasikan upaya pemulihan: raja harus banyak melihat yang hijau-hijau. Mendengar rekomendasi sang tabib, raja pun segera memerintahkan agar istananya dicat hijau, seragam prajurit diganti warna hijau, kereta kudanya dicat hijau, permaisuri diminta selalu mengenakan gaun warna hijau, rumah-rumah penduduk semuanya dicat hijau, bahkan jalan utama kerajaan pun dicat hijau. Maka jadilah seluruh kerajaannya bernuansa hijau.

Selang beberapa waktu, sang tabib terkejut dengan tindakan raja yang mengubah warna segala sesuatu menjadi hijau. Ia pun menghadap raja dan menanyakan hal itu. Raja menjawab: “Bukankah engkau sendiri yang merekomendasikan agar aku sering melihat yang hijau-hijau?” Tabib menjawab: “Benar, paduka, tetapi saya sudah membuat kacamata dengan lensa berwarna hijau. Jadi paduka tidak perlu mengecat semua dengan warna hijau. Cukup dengan menggunakan kacamata lensa hijau ini paduka dapat melihat bahwa segala sesuatu akan tampak hijau.”

Cerita tersebut memperlihatkan bahwa untuk memahami suatu realitas dan kemudian mengubahnya, pertama-tama bukan dengan merombak segala sesuatu secara radikal. Hal itu tentu akan membawa konsekuensi biaya finansial dan biaya sosial yang cukup besar. Pemahaman terhadap suatu realitas dan upaya untuk mengubahnya mestinya dimulai dari perubahan perspektif atau cara pandang (mindset) kita terhadap realitas tersebut. Tidak akan pernah terjadi perubahan atau pembaruan terhadap realitas jika mindset kita tidak berubah.

Menjelajah Perspektif Menggereja

Dalam wawancaranya dengan salah satu harian lokal, seorang pemimpin gereja yang hendak mengajukan dirinya sebagai calon ketua sinode mengatakan bahwa gerejanya jangan menjadi pengemis kepada pemerintah. Pernyataan tersebut menjadi headline koran tersebut. Tentu hal bisa dilihat dari dua aspek: (1) ini memang pernyataannya sendiri; atau (2) ada pernyataan implisit yang kemudian di-blowup oleh media sebagai salah satu strategi pemasaran media (koran).

Menyadari dua aspek itu persoalan yang mencuat di sini sebenarnya adalah: bagaimana perspektif yang telah dibangun tentang fungsi gereja dan model kemitraan seperti apa yang mestinya dibangun dengan pihak-pihak lain? Pada titik itulah kita hendak menginterpretasi makna “mengemis” kepada pemerintah. Secara sosiologis, setiap individu dan kelompok sosial tidak hidup dalam ruang hampa sosial-budaya. Setiap individu atau kelompok selalu terhubung secara kooperatif maupun konfrontatif dengan pihak-pihak lain. Apalagi jika semuanya berada dalam suatu komunitas yang menjalani proses-proses sosial bersama-sama. Jadi, tidak ada yang steril satu terhadap yang lain.

Bahwa setiap individu atau kelompok atau organisasi memiliki acuan visi-misi dan implementasi programnya masing-masing, pada hakikatnya itu dapat dipahami sebagai hal yang lumrah. Dan karena itu setiap individu atau organisasi biasanya memiliki panduan konstitusional yang mengatur gerak organisasinya agar tetap terarah pada tujuannya tanpa menegasi relasi-relasi yang terbangun dengan pihak-pihak lain. Dengan pemahaman sederhana tersebut maka perlu dipertanyakan apakah makna gereja mengemis kepada pemerintah.

Institusi keagamaan di mana pun berproses dan membangun dirinya dalam relasi-relasi kreatif dan dialektis dengan pihak-pihak lain. Itu suatu realitas sosiologis yang tak terpungkiri. Bahwa secara esensial dia memahami dirinya unik, itu merupakan bagian dari “self-understanding”. Tetapi “self-understanding” itu pun tak lepas kaitannya dengan “common-understanding”. Dalam konteks itu maka dalam diskursus sosiologi agama kita selalu hendak memaknai kehadiran institusi agama dalam pertautan dengan berbagai elemen sosial, termasuk pemerintah.

Interpretasi terhadap gereja yang mengemis kepada pemerintah tentu saja bisa diarahkan pada lemahnya “self-understanding” institusi agama (baca: gereja) yang akan berdampak pada “common-understanding” dalam suatu konteks sosial masyarakat. Kerangka pikir itu mengasumsikan bahwa “self-understanding” terhadap eksistensi gereja sebagai suatu organisasi sosial di situ memiliki landasan epistemologis yang sangat rancu. Dalam hal ini, gereja tidak bisa ditempatkan sebagai suatu institusi spiritual semata-mata. Karena pertanyaannya kemudian: apakah yang menjadi referensi epistemik mengatakan bahwa kita adalah lembaga spiritual? Karena pada realitasnya dalam seluruh program-program gereja kita pun secara sadar menggarap ranah-ranah sosial-politik-budaya-ekonomi yang ditujukan bagi penguatan kapasitas sosial jemaat (yang juga bisa dibaca dalam perspektif “masyarakat”). Apakah urusan lembaga-lembaga agama hanya urusan “hidup saleh”, “rajin berdoa”, “rajin beribadah” saja? Jika demikian, maka saya justru melihat itu sudah melenceng dari fungsi gereja itu sendiri sebagai organisasi sosial, bahkan sebagai suatu lembaga agama yang tetap siuman bahwa ia masih di bumi. Artinya, kalau hanya mengharapkan model semacam itu yang muncul dari kepemimpinan gereja atau dinamika kehidupan umat maka di situlah titik kelemahan terbesar bagi gereja untuk menjalankan fungsi profetiknya. Dengan kata lain, urusan spiritual semacam itu pada gilirannya hanya akan menyentuh dimensi personalitas, bukan komunalitas.

Apakah itu berarti gereja tidak bisa membangun spiritualitas? Bukan begitu. Spiritualitas yang hendak dimaknai dalam proses bergereja adalah penguatan relasi-relasi sosial dengan semua pihak dan dari situ terbangun sebuah pemahaman mengenai spiritualitas sosial. Spiritualitas sosial itu lebih tertuju pada upaya membangun perspektif dan aksi hidup bersama dengan “yang lain” (others), yang darinya kita makin menyadari panggilan religius untuk kehidupan bersama. Kritis tanpa saling menegasi. Dialektis tanpa saling mengeliminasi.

Ini hanya catatan singkat agar kita tidak terperangkap dalam asumsi keliru bahwa selama ini kita hanya memosisikan diri sebagai “pengemis”; juga apresiasi terhadap para pendeta dan jemaat-jemaat yang dengan segala daya berjuang membangun relasi-relasi kritis dengan siapa saja demi peningkatan kualitas hidup jemaat-jemaatnya keluar dari lingkaran kemiskinan struktural. Mereka sadar bahwa bukan perubahan total menjadikan semuanya “hijau” (seperti cerita di awal), tetapi merevisi perspektif tentang model-model kemitraan bagi proses menggereja di masa depan. Di sini perspektifnya adalah institusional, bukan romantisme spiritual yang bersifat individual. Di sini pula diskursus yang ingin dikembangkan adalah kepemimpinan yang bersifat kolegial, bukan pesona semu individual. No body is perfect!

Benarkah kita mengemis? Mari kita bersama-sama menjawabnya... VIVA GPM!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces