Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, October 13, 2010

Kongres ke-27 AMGPM: Masih Asin? Kian Redup?


Perhelatan Kongres ke-27 Angkatan Muda GPM (AMGPM) telah dimulai sejak Minggu, 10 Oktober 2010. Ketika tulisan ini disusun kegiatan kongres telah berjalan selama 2 hari. Tulisan ini hanya sebentuk refleksi dari seorang penikmat AMGPM yang gemar mengamati dan berkomentar. Maka jadilah tulisan ini sebagai suatu komentar reflektif terhadap dinamika AMGPM selama periode kepengurusan yang akan segera mengakhiri masa baktinya dalam kongres 2010 ini. Sekaligus sedikit menguak apa yang mesti diagendakan oleh kepengurusan yang akan datang. Tidak ada pretensi menyudutkan siapapun dalam tulisan ini karena ketika menyebutkan “AMGPM” dalam tulisan ini maka perspektifnya adalah perspektif organisasi, bukan perspektif personal.

Pelaksanaan kongres ke-27 tahun 2010 ini merupakan suatu momentum yang kritis sekaligus strategis. KRITIS, karena beberapa waktu sebelum pembukaannya pada level nasional terjadi peristiwa “memalukan” yaitu pembatalan kunjungan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono, ke Belanda atas undangan Ratu Belanda. Pembatalan sepihak oleh Indonesia tersebut, sejauh dilansir oleh media massa nasional dari keterangan jubir kepresidenan, adalah karena adanya gugatan kelompok RMS di Belanda ke mahkamah internasional untuk menangkap Presiden RI pada saat kunjungannya ke Belanda.

Gugatan itu didasarkan tuduhan Presiden RI bertanggung jawab atas pelanggaran HAM terhadap sejumlah tawanan politik (atas dasar kasus pengibaran bendera RMS, dan tidak ada perlawanan bersenjata!). Sebelumnya media massa nasional memberitakan sinyalemen dan bukti penyiksaan aparat kepolisian terhadap tapol-tapol Maluku, yang makin diperkuat oleh kematian seorang tapol. Pembatalan SBY itu pun masih kontroversial. Jubir kepresidenan mengangkat masalah “harga diri” kepala negara; sementara pihak pemerintah Belanda menyesalkan pembatalan tersebut karena kunjungan itu merupakan undangan resmi Ratu Belanda; dan lagi mempertimbangkan imunitas diplomatik seorang kepala negara yang sangat dijaga dalam hubungan-hubungan diplomatik antarnegara.

Masalah pembatalan berkaitan dengan “harga diri” presiden ini cukup membingungkan justru karena tak lama kemudian presiden juga membatalkan (dibahasakan sebagai penundaan) kunjungannya ke Wasior (Papua Barat) yang mengalami bencana alam banjir parah. Data terakhir ketika penundaan kunjungan presiden ke Wasior, jumlah korban jiwa telah mencapai 140 orang meninggal, 120 orang hilang, ratusan rumah ludes digusur banjir dan longsor. Anehnya, tidak ada alasan yang jelas kenapa presiden juga menunda kunjungan ke Wasior meskipun situasinya sudah sangat darurat dan memprihatinkan. Apakah juga ada masalah “harga diri” presiden yang merasa terancam ataukah karena nyawa rakyat tidak cukup berharga? Padahal, kemudian Presiden RI kalah cepat dalam menyikapi bencana itu dibandingkan dengan pernyataan keprihatinan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton.

STRATEGIS, karena sebenarnya beberapa peristiwa sebelum kongres mestinya menjadi momentum penting yang perlu dimasukkan sebagai agenda untuk dipikirkan, dipercakapkan, dan ditindaklanjuti berkaitan dengan eksistensi dan dinamika kepemudaan menyikapi isu-isu nasional yang sedang memanas saat ini. Salah satu isu strategis yang mesti disikapi sangat serius adalah menguatnya kembali stereotip RMS melalui pernyataan Kapolri Jenderal Bambang Hendarso Danuri saat melantik Brigjen Syarif Gunawan sebagai Kapolda baru Maluku menggantikan Brigjen Toto Hermawan di Mabes Polri Jakarta Selatan.

Kapolri memerintahkan Kapolda baru Maluku untuk mewaspadai gerakan-gerakan separatis Maluku, bahkan dengan memberi contoh adanya penyerangan kelompok RMS terhadap sejumlah mapolsek di Maluku (Rakyat Merdeka online, Jumat 8 Oktober 2010). Jika informasi ini keluar dari mulut Kapolri berarti ini informasi yang tertanggung jawab (artinya, ini pernyataan resmi institusi Polri). Tetapi dari manakah sumber resmi intelijen mengenai penyerangan tersebut? Apakah indikasi “kelompok RMS” tersebut dapat dipertanggung jawabkan secara publik ataukah hanya pseudo-narasi? Pernyataan kapolri ini harus diperhatikan dan disikapi secara serius, sebab bukan tidak mungkin akan berimplikasi pada mengentalnya kembali stigmatisasi RMS kepada orang-orang Maluku. Kita sudah sama-sama mafhum bahwa muara dari proses ini adalah konsolidasi militer dan security approach dalam menanggapi persoalan-persoalaan sosial-politik yang terjadi di Maluku. Kemungkinan besar, anggota-anggota AMGPM di sejumlah daerah bisa menjadi korban dari seluruh penguatan stigma RMS ini.

Bagaimana AMGPM merespons seluruh dinamika situasi problematik tersebut yang berimplikasi langsung pada stabilitas politik dan keamanan masyarakat Maluku? Saya tidak tahu. Semua akan tergantung pada konstelasi percakapan para peserta kongres. Walaupun saya agak miris karena isu-isu yang lebih panas dalam arena kongres ini justru tertuju pada masalah figur pemimpin AMGPM periode berikut. Dan yang lebih banyak bermunculan bukannya kelompok-kelompok diskusi serius yang membincangkan visi dan misi strategis AMGPM sebagai kekuatan pemuda gereja menyikapi masalah lokal dan nasional yang terjadi, melainkan klub-klub swasta yang lebih bergairah menyoal pesona diri untuk maju sebagai kandidat ketua umum AMGPM.

Sejauh amatan saya, kita sedang mengabaikan hakikat eksistensial AMGPM sebagai gereja. Atau jangan-jangan – ini hanyalah semacam hermeneutik kecurigaan – AMGPM hanya akan dijadikan “kuda tunggangan” untuk kepentingan-kepentingan politik sesaat. Mungkin juga dikomersialisasikan sebagai bagian dari politik “dagang sapi”. Kalau mau ditanya apa parameternya, jelas bagi saya bahwa itu tidak diposisikan pada dimensi penguatan visi dan misi AMGPM ke depan seperti apa. Diskursus kita ternyata hanya soal “siapa mau jadi apa”. Jangan salah, itu tidak berarti bahwa sosok pemimpin yang andal dan kapabel tidak diperlukan. Itu tetap penting. Tetapi signifikansinya mesti terukur pada kemampuan visioner membaca situasi problematik masa kini untuk mempertimbangkan strategi jangka panjang ke depan. Taruhanya juga jelas: bukan jabatan, tapi komitmen; bukan sekadar terperangkap pada pragmatisme politik tanpa idealisme teologis yang berorientasi pada character-building yang dilandasi kapasitas moral, etika, dan profesional sebagai organisator. Dalam konteks itu, piranti kepemimpinan AMGPM masa depan direorientasikan pada komitmen membesarkan organisasi secara komprehensif, bukan memanfaatkan AMGPM untuk membesarkan diri sendiri secara personal.

Saya dengan sengaja menyebutkan “idealisme teologis” untuk mengingatkan kita bahwa AMGPM adalah organisasi kepemudaan gereja. Dengan mengatakan itu, kita hendak menegaskan bahwa landasan “ideologis” AMGPM adalah humanisme universal yang bermuara pada spiritualitas memperjuangkan kemanusiaan sebagai citra Allah (imago Dei). Karena itu visi dan kiprah AMGPM tidak boleh dimampatkan secara parsial pada aliran politik praktis tertentu, apalagi menjadi salah satu “pion” partai politik tertentu. AMGPM adalah gerakan menggereja yang berjuang dalam koridor eksistensial kepemudaan untuk kemanusiaan universal.

Bahwa dalam perjuangannya AMGPM membangun kemitraan kreatif dengan berbagai pihak (termasuk partai politik), itu adalah suatu keniscayaan. Tetapi itu bukan pengondisian yang membuat AMGPM mawali karena tingkat ketergantungan yang terlampau besar pada pihak lain. AMGPM semata-mata bergantung pada komitmen teologis Gereja Protestan Maluku dan konsistensi perjuangan kemanusiaan pemuda Maluku yang berimplikasi sosiologis, politis, kultural, ekonomis, dsb. Karena memang itulah ranah perjuangan AMGPM. AMGPM bukanlah organisasi bebas nilai. Tidak juga steril dari berbagai pengaruh. Tetapi soalnya bukan di situ. Bagi saya, soalnya adalah apakah AMGPM sudah membangun komitmennya untuk menjadikan organisasi ini sebagai media perjuangan berbasis nilai-nilai kristiani? Dimensi spiritual tetap punya implikasi sosial-politis; dimensi sosial-politik juga mengandung implikasi spiritual.

Tentu Anda sebagai peserta yang terhormat lebih tahu dan paham karena Anda menggelutinya selama ini dan membincangkannya dalam kongres. Saya hanya “orang luar” yang sama jatuh cintanya kepada AMGPM seperti Anda. Bedanya, saya hanya penikmat yang bisanya mengintip dari “sambal” (samping baileo) dan berkomentar. Terima kasih sudah bersedia membaca tulisan sederhana ini. Tapi rasanya lebih asyik kalau Anda mau menulis komentar atau refleksi Anda. Setidaknya, pulang dari kongres ini kita tidak hanya bertambah berat badan karena jaminan makan dari panitia dan mama-papa piara yang oke punya, tetapi juga bertambah bobot refleksi kita mengenai peristiwa gerejawi ini. Siapa tahu dengan cara itu kita makin menyadari: apakah AMGPM masih asin? Apakah cahayanya kian redup? Sebab apa gunanya jika garam itu sudah menjadi tawar? Dan terang itu kalah oleh kemilau uang, narsisme, dan jabatan?

Bagitu dolo ee…


Sambal, 12 Oktober 2010

1 comment:

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces