Aku menulis maka aku belajar

Monday, June 28, 2010

Sang Christina


Apalagi yang bisa dikatakan saat kita menghadapi kematian? Tidak ada. Yang bisa kita lakukan hanya menangisinya dan mengenang kembali detik demi detik saat kematian menjelang. Lalu kita pun merefleksikannya sebagai "sudah ada tanda-tandanya". Tapi kita hampir tak pernah menyadari tanda-tanda itu.

Christina Mandang, musisi gereja berkaliber internasional, menutup kitab kidung kehidupannya di Grand Rapids. Jauh dari negeri asalnya, Indonesia. Jauh dari orang tua dan sanak keluarganya. Kecelakaan tragis merenggut nyawanya setelah mengalami koma selama sekitar 5 jam. Hanya beberapa jam setelah Christina mengakhiri tugasnya mengiringi pujian komunal dalam ibadah penutupan Uniting General Council 2010 di Calvin College Chapel, Grand Rapids.

Terpekur dalam kesedihan mendalam, mata sembab menangisi kepergian Christina, lalu setiap orang pun mulai merefleksikan "tanda-tanda" yang seharusnya terbaca namun tak tersadari. Ketika ditanya naik pesawat apa kalau pulang ke Indonesia, Christina menjawab "tiket pesawatku mahal sekali, lebih mahal dari semua tiket"; usai closing worship ia mengatakan kepada seorang teman "ini ibadahku yang terakhir"; masih usai ibadah, ia minta difoto dengan semua orang - satu demi satu. Sesuatu yang jarang ia lakukan; dalam perjalanan pulang kembali dari membeli makanan ia tampak sangat ceria. Bercerita dengan gayanya kepada setiap orang - sesuatu yang juga bagi setiap orang yang mengenalnya tak lazim dari seorang Christina Mandang.

Kami - delegasi Indonesia - berbagi cerita tentang "tanda-tanda". Tapi apakah itu masih bisa disebut "tanda-tanda" jika ternyata kita tak mampu "membaca"-nya sebelum terjadi sesuatu? Ataukah ini bisa disebut "takdir"? Sesuatu yang terjadi karena kita percaya pada "grand-design" dari Tuhan Sang Pencipta dan Pemberi Kehidupan? Ada yang mengatakan "ini sudah jalannya". Kenapa harus jalan ini? Dan bukan itu? Ada yang mengatakan "ini suatu kebetulan yang bisa terjadi pada semua orang". Tapi benarkah hidup kita hanyalah serangkaian "kebetulan" yang tak punya mata rantai maknawi satu dengan yang lain? Ada yang mengatakan "kematian hanyalah suatu proses dalam kehidupan yang berlanjut dengan dimensinya yang berbeda. Apakah itu semacam kontinuitas dan diskontinuitas?

Saya tidak tahu jawabnya. Hanya sekejap termenung dalam kevakuman makna. Kita semua percaya bahwa kita akan mati: suatu saat dan di suatu tempat. Kita percaya, tapi sering kita tak siap menyambutnya. Bahkan tak ingin menyambutnya. Kita meyakininya sebagai takdir atau predestinasi yang tak terhindarkan, sekaligus kita lebih memilih untuk tidak menerimanya.

Saya tidak pandai membaca "tanda-tanda"... atau mungkin tak perlu membacanya. Hanya menunggu dalam irama waktu yang membuat kita tertawa, menyanyi, berjoget, bercanda, dan... mati. Kontinuitas atau diskontinuitas. Tak tahulah. Yang pasti: kita pulang ke Indonesia tanpa Christina Mandang bersama kita. Kita akan merindukannya. Maafkan kami Christina, kami tak sempat membaca "tanda-tanda" kepergianmu... Tapi kami tetap sahabatmu!

Langit kelabu dan hujan di Grand Rapids, 27 Juni 2010

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces