Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, March 10, 2010

Mimbar dan Tahta: Mengenang Frank Leo Cooley

Cooley telah pergi. Ada sejumlah komentar yang dikirim terhadap berita meninggalnya Dr Frank Cooley yang diposting oleh Dr Zakaria Ngelow melalui facebook. Bagi kalangan teolog protestan, khususnya yang mendalami kajian agama dan masyarakat, nama Frank Cooley cukup dikenal. Disertasinya pada Universitas Yale tentang gereja dan masyarakat di Maluku Tengah menjadi suatu kajian yang fenomenal serta mendorong tumbuhnya pemikiran kritis terhadap dinamika kekristenan lokal di Indonesia yang bersentuhan dengan realitas sosial-budaya masyarakat. Di Maluku sendiri, karya (disertasi) Cooley itu sudah menjadi semacam buku babon bagi eksplorasi kajian-kajian antropologis agama dan teologi kontekstual.

Nyaris tak ada satupun penelitian ilmiah tentang kebudayaan dan masyarakat di Maluku, termasuk tulisan-tulisan teologis, yang absen menuliskan karya Cooley dalam daftar kepustakaan mereka. Bahkan dalam diskusi-diskusi teologis dan gerejawi, orang dengan mudah menyebutkan istilah “agama Ambon” ketika mereka membicarakan model kekristenan di Maluku Tengah. Suatu istilah yang sebenarnya dipakai Cooley untuk memperlihatkan sintesis kreatif unsur-unsur kekristenan ala Barat dengan dimensi-dimensi pandangan dunia dan bentuk-bentuk keyakinan lokal-tradisional. Lantas, dengan terus-menerus mengumbar terminologi itu, orang serasa menemukan identitas religiositasnya dalam kebudayaan lokal, dan sebaliknya, melestarikan spiritualitas primordial dalam pantulan bentuk-bentuk kekristenan pascakolonial di Maluku.

Studi Cooley harus diakui merupakan suatu terobosan epistemik dalam menelusuri dinamika kekristenan lokal dan kedalaman kreativitas komunitas lokal mengadopsi serta mengabsorpsi kemajemukan dimensional dari perjumpaan berbagai peradaban dalam konteks Maluku. Tentu saja dalam hal ini karya Cooley mesti ditempatkan sebagai produk ideologis dari suatu zaman yang mencoba untuk memahami aspek-aspek misiologis gereja dalam konteks partikular. Paradigma ini penting sebagai antitesis dari pola-pola misiologis yang tumbuh dan berkembang pada masa-masa kolonial (bandingkan saja dengan gaya Kraemer dalam From Missionfield to Independent Church yang penuh catatan-catatan peyoratif).

Apa yang tertuang dalam studi Cooley tersebut sebenarnya telah mendorong lahirnya berbagai perspektif kritis, khususnya dalam kajian teologis dan sosiologi agama, di Maluku. Sejumlah karya mutakhir oleh sarjana-sarjana teologi dan antropologi di Maluku sangat kuat dibingkai oleh kesadaran akan pertautan proses-proses sosial dalam membentuk pandangan masyarakat terhadap dirinya sendiri. Dengan demikian, aktivitas beriman yang mewujud dalam pengorganisasian gereja/jemaat tidak hanya dilihat dalam kacamata teologi kesalehan (seperti yang ditanamkan oleh para zending pada masa kolonial, yang pada gilirannya memisahkan kehidupan beriman dari dinamika sosiologis dan kultural). Lebih jauh, aktivitas beriman dipahami sebagai respons dan kritik terhadap ideologi-ideologi (terselubung maupun terbuka) yang diintroduksi atau diindoktrinasi oleh kalangan penguasa. Hasilnya, ranah-ranah yang sempat ditabukan pun mulai ditelanjangi dengan pembedahan yang lebih “duniawi”.

Pemakaian tanda petik pada istilah duniawi sebenarnya hendak memperlihatkan bahwa sampai saat ini gereja-gereja kita masih berpusing-ria dengan dikotomi “surgawi>
Sementara itu dimensi-dimensi sosiologis dan politis yang memengaruhi cara menggereja itu sendiri tidak tersentuh dan terpahami secara utuh sebagai proses-proses berteologi itu sendiri. Teologi menjadi jauh karena yang teologis tidak boleh dipadukan dengan yang sosiologis. Apalagi politis. Maka sang teolog pun melayang-layang tanpa pijakan di bumi sembari mulutnya berbuih-buih bicara tentang ketidakadilan, kemiskinan, kesetaraan gender, hukum, dan hak asasi manusia. Teologi pun akhirnya memang hanya menjadi sang theos tanpa anthropos.

Cooley – tentu saja, hanyalah satu dari banyak yang lain – sebenarnya telah berhasil menggelisahkan cara memahami sang theos bahkan tanpa menyebutnya secara eksplisit. Jika bisa ditafsir, Cooley mencoba meruntuhkan kepongahan epistemik yang telah meradang dalam denyut nadi teologi gereja-gereja kita saat bersentuhan dengan kekuatan sivilisasi Barat dan ekspresi-ekspresi komunitas lokal. Kepongahan epistemik itu ditelanjanginya dengan memperlihatkan perselingkuhan abadi antara agama dan politik yang diwariskan dan dilestarikan dalam struktur-struktur kegerejaan di Indonesia. Pewarisan yang secara serius telah turut membentuk postur menggereja kita: berpolitik ala gereja. Suatu daya plastis untuk mengadopsi perseteruan kubu-kubu kekuasaan dan menyeret theos dalam tali-temali kekuasaan yang absurd.

Bagi saya, mungkin bagian itu yang bisa dikenang dari seorang Frank Cooley – yang sosoknya tidak pernah saya lihat secara langsung.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces