Aku menulis maka aku belajar

Wednesday, August 12, 2009

Wisata Keesaan Sebagai Media Pekabaran Injil

Hakikat gereja adalah misi. Misi merupakan roh gereja. Gereja tanpa misi hanyalah sebentuk komunitas tanpa spirit. Memang setiap organisasi memiliki misinya masing-masing. Tetapi gereja mendasarkan misinya bukan semata-mata atas visi kontekstual berkaitan dengan peran dan fungsinya di dunia, melainkan atas visi transendental yang lahir dari pemahaman teologis terhadap hakikat dirinya dan panggilannya di dunia. Pemahaman teologis gereja terhadap dirinya dan konteks dunia tempat gereja berada lahir dari proses berdialog dengan pengalaman-pengalaman gereja atau umat Kristen secara konkret.

Pada suatu masa dalam sejarah kekristenan, istilah misi atau Pekabaran Injil mengandung suatu konotasi yang superior. Pekabaran Injil yang dilakukan oleh badan-badan zending di dunia Barat berjalan beriringan dengan proses modernisasi masyarakat Barat. Perkembangan modernisasi di Barat pada gilirannya membentuk karakter masyarakatnya yang lebih rasional, sehingga mereka tidak lagi menaruh perhatian pada segala bentuk kepercayaan yang mitis. Hal itulah yang turut membentuk perspektif masyarakat Barat tentang dirinya sendirinya dan juga terhadap masyarakat-masyarakat yang berbeda dengan dirinya. Karena yang Barat dilihat identik dengan “maju” dan “beradab”, maka masyarakat yang tidak sama dengan Barat dilihat sebagai yang “tidak maju” dan “biadab”, sehingga masyarakat Barat merasa “terpanggil” untuk membawa mereka menjadi lebih beradab. Pada saat yang bersamaan, misi Pekabaran Injil atau misi kekristenan oleh bangsa Barat membawa serta ideologi-ideologi pengadaban masyarakat non-Barat melalui proses kolonialisasi.


Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di berbagai masyarakat (khususnya masyarakat bekas koloni), model-model kekristenan yang diintroduksi oleh badan-badan misi Barat juga mengalami perubahan-perubahan secara variatif. Secara umum, di gereja-gereja yang terbentuk sebagai hasil misi Kristen Barat di kawasan Asia pada masa pascakolonial bergumul untuk menjadi gereja-gereja mandiri yang mampu melahirkan gagasan-gagasan teologis dan praktik-praktik kekristenan yang kontekstual sesuai dengan perubahan-perubahan sosial-politik-budaya masyarakatnya. Dalam proses itulah, misi kekristenan atau pekabaran injil tidak lagi dilihat sebagai suatu upaya “pengkristenan” masyarakat lokal (yang non-kristen) atau usaha menambah jumlah orang Kristen semata-mata.


Pekabaran injil pascakolonial berangsur-angsur mengalami pergeseran paradigma dari ideology “kristenisasi” menjadi suatu upaya doing theology di atas ranah sosial masyarakat dengan fondasi-fondasi teologis yang lebih kontekstual. Pekabaran injil pascakolonial tidak lagi dipahami sebagai starting point kekristenan, tetapi justru sebagai intermediate creativity yang secara kreatif hendak menghubungkan warisan-warisan tradisi berteologi Kristen dengan tantangan-tantangan kontemporer masyarakat pascakolonial di kawasan bekas koloni bangsa-bangsa Barat. Keniscayaan historis bahwa kekristenan di Asia adalah warisan Barat dengan sejumlah derivasi bentuk dan konsep sama sekali tidak ditolak; tetapi pada saat bersamaan model-model kekristenan yang telah terbentuk terus diuji dalam konteks masyarakat kontemporer. Pada titik itulah gereja-gereja pascakolonial memahami pekabaran injil sebagai kekuatan untuk membangun kekristenan yang terintegrasi dalam pergumulan sosial, politik, serta pemaknaan budaya.


Gereja Protestan Maluku merupakan salah satu gereja yang mewarisi tradisi-tradisi kekristenan dari Barat. Itu suatu kenyataan historis yang tidak dapat disangkal. Tetapi sekaligus GPM menyadari bahwa tugas Pekabaran Injil tidak pernah selesai, karena itulah yang menjadi spirit menggereja mengarungi arus perubahan dari zaman ke zaman. Dengan kesadaran itulah, Pekabaran Injil yang dilakukan oleh GPM secara mendasar kini bertumpu pada tiga pilar:
  1. Penguatan pemahaman teologis-alkitabiah pada tingkat basis (jemaat) melalui pendidikan teologi jemaat yang dilakukan secara programatis di jemaat-jemaat;
  2. Pengembangan kapasitas gereja sebagai institusi keagamaan yang secara sadar berproses bersama dengan seluruh lapisan masyarakat. Pada tataran ini, GPM memosisikan diri sebagai institusi gerejawi yang menyatakan misi kemanusiaannya dalam menghadapi berbagai masalah sosial;
  3. Pengakaran gagasan gereja sebagai pewarta Kerajaan Allah sebagai proses transendensi peran dan fungsinya di tengah dunia. Matra ini memberikan fondasi teologis sehingga gereja mampu berjarak kritis dan membedakan dirinya dengan organisasi-organsasai sosial/politik lainnya.

Dengan ketiga pilar tersebut, maka program wisata keesaan sebagai media ber-PI oleh GPM dapat dilaksanakan dengan pendasaran teologis yang lebih tertanggung jawab. Wisata keesaan tidak hanya menjadi salah satu program saja, tetapi justru mampu diwujudkan sebagai salah satu kekuatan GPM menyatakan panggilannya dalam konteks Maluku.

Hal yang tidak kalah pentingnya ialah wisata keesaan GPM (dengan rujukan tiga pilar tersebut) dapat dimaknai sebagai proses penguatan solidaritas institusional yang memang diperlukan bagi aksi-aksi pembelajaran lebih lanjut. Solidaritas institusional ini penting sebagai upaya menyambung matarantai pembangunan jemaat dalam konteks gumul yang variatif. Tantangan konteks kepulauan pada galibnya membentuk gagasan dan praktik Pekabaran Injil yang lebih memberi perhatian pada upaya penggalian nilai-nilai kultural masyarakat (jemaat) yang menjadi bagian dari pelayanan GPM.

Bersamaan dengan itu pula, maka wisata keesaan GPM mesti ditempatkan sebagai suatu aksi untuk memetakan potensi-potensi sosial-politik-budaya-ekonomi dari setiap jemaat. Dengannya setiap jemaat mampu menjadi jemaat mandiri yang menjalankan kehidupannya sebagai “gereja” di atas tiga pilar tersebut. Dengan perkataan lain, wisata keesaan hendak mengarahkan seluruh proses menggereja pada suatu misi: menjadikan jemaat GPM sebagai JEMAAT MISIONER.***

(Dipersiapkan untuk dimuat di Majalah PIKOM GPM "Assau")

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces