Aku menulis maka aku belajar

Monday, July 27, 2009

Mengais Remah-remah Sejarah dan Budaya Lokal Maluku



Beberapa waktu lalu saya diundang oleh beberapa teman mengikuti diskusi terbatas mengenai kemungkinan melakukan kajian dan penelitian sejarah dan budaya lokal Maluku. Karena terbatas maka kegiatan tersebut memakai nama “meja bundar” (round table). Saya datang agak terlambat. Ketika masuk ke ruang pertemuan diskusi sedang berlangsung. Kebetulan yang sedang berbicara adalah salah seorang narasumber yaitu Prof. Saleh Putuhena.

Sepintas dari penjelasan Putuhena saya mendapatkan gambaran bahwa diskusi ini diharapkan bermuara pada tersusunnya suatu kurikulum muatan lokal yang dapat diterapkan dalam proses pengajaran pada jenjang pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Kegelisahan utama yang tampak dari penjelasan Putuhena terletak pada makin terkikisnya sejumlah kearifan lokal dan gaya hidup tradisional yang selama ini didasarkan pada nilai-nilai tradisi lokal, seperti “penghormatan kepada orang tua”, “gaya hidup persaudaraan”, “ikatan kekerabatan” dan sebagainya. Dengan demikian, Putuhena mengharapkan bahwa diskusi ini kemudian akan ditindaklanjuti dengan penelitian ke sejumlah negri untuk mendapatkan data seputar sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku.

Setelah penjelasan Putuhena, diskusi berlanjut dengan mendengarkan pendapat setiap peserta secara bergilir. Saya sendiri melihat bahwa upaya ini penting untuk dilakukan. Namun, sebelum tiba pada tahap penelitian perlu dipersiapkan suatu kerangka teoretik dan kerangka metodologi yang mampu membingkai dan mengarahkan seluruh proses penelitian pada ditemukannya data penting mengenai pemahaman sosial masyarakat Maluku terhadap sejarah dan kebudayaan lokal.

Kerangka teoretik tersebut sangat diperlukan agar kajian sejarah yang dilakukan tidak terperangkap pada format kajian sejarah formal, yang pada gilirannya hanya menjadi dokumen sejarah kaum elite. Padahal yang hendak ditemukan ialah bagaimana sejarah digali dan dimaknai sebagai narasi kaum jelata yang kerap kali ditenggelamkan dalam hiruk-pikuk kajian sejarah formal serta “tak bersuara” (voiceless). Bersamaan dengan itu kerangka metodologi mesti dirumuskan secara matang sehingga proses penelitian yang dilakukan mampu menggali secara mendalam aspek-aspek kultural di antara ketegangan tradisi dan ekspresi kontemporer. Di sini kebudayaan lokal hendak ditempatkan dalam dinamika perubahan sosial tanpa harus terjerat pada romantisasi tradisi-tradisi sosial.

Secara ideal, upaya ini merupakan suatu proyek raksasa yang sebenarnya telah dilakukan oleh banyak pihak. Oleh karena itu, saya melihat bahwa upaya awal yang mesti pula dilakukan adalah menginventarisasi berbagai kepustakaan tentang Maluku dari sejumlah perspektif. Kajian literatur tentang Maluku tersebut akan memberikan suatu cakrawala yang lebih luas lagi sehingga darinya penelitian tentang kebudayaan lokal akan lebih banyak bertolak dari matra-matra kultural yang belum tersentuh dan dapat dirumuskan dalam bentuk modul kurikulum bagi pembelajaran murid-murid sekolah.

Upaya ini tentu membutuhkan kerja keras yang sistematis dan sinergis. Tetapi hasilnya akan menjadi suatu kontribusi penting bagi muatan lokal yang dipelajari oleh murid-murid sekolah. Keseriusan dalam mengelola muatan lokal ini akan lebih banyak memberikan kesempatan kepada murid sekolah untuk mengembangkan sendiri perspektifnya secara kreatif dalam mempelajari sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku. Memang tak dapat disangkali bahwa minat mempelajari sejarah dan kebudayaan lokal di Maluku sangat dipengaruhi oleh dinamika sosial masyarakat yang telah dirasuki oleh kekuatan-kekuatan hedonism dan konsumerisme – yang kemudian dilihat sebagai indikator modernisasi. Lantas, dengan indikator semu modernisasi tersebut masyarakat secara sengaja dan gradual meninggalkan aspek-aspek kultural yang dianggap sebagai “tradisional” dan “terbelakang”.

Di tengah gempuran gaya hidup global yang melanda masyarakat (khususnya kaum muda), upaya ini tentu mesti diapresiasi sebagai perlawanan kultural (counter-culture) yang bermaksud menyeragamkan pola hidup sosial dalam kemasan globalisasi. Penyeragaman dalam globalisasi pada hakikatnya mengharamkan perbedaan dan memperkuat dominasi pihak yang kuat untuk memberlakukan ketidakadilan hegemonik terhadap pihak-pihak yang lemah (yang tidak memiliki akses pada pengelolaan kekuasaan publik). Dengan demikian, proyek raksasa ini semestinya menjadi living project yang menjadi konsern bersama masyarakat, bukan hanya kaum akademisi. Tanpa kesadaran dan praksis semacam itu, maka ini hanya akan menjadi suatu upaya mengais remah-remah sejarah dan budaya lokal di tanah Maluku.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces