Aku menulis maka aku belajar

Friday, April 17, 2009

Teologi Kelautan dalam Konteks Pembangunan Indonesia - [artikel lawas]

Lebih dari dua pertiga bumi kita ini ditutupi oleh air. Menurut para pakar hidrologi sebagian besar air yang ada di bumi ini berada di lautan sehingga 71 persen permukaan bumi ini tertutup air di mana 80 persen dari semua air itu berada di lautan. Dengan demikian, dapat dibayangkan betapa vitalnya lautan bagi ekosistem di muka bumi. Lingkungan air khususnya lautan yang begitu luas sangat berpengaruh terhadap iklim, tidak hanya di lautan tetapi juga kehidupan di darat dan udara.

Negara Indonesia yang terletak di antara Benua Asia dan Australia dikenal juga sebagai “negara bahari”, karena dari luas wilayah 5.193.252 km2, memiliki lautan seluas 3.288.863 km2 dan terdiri dari 13.000 pulau. Adalah suatu realitas yang tidak dapat dipungkiri bahwa kondisi geografis laut-pulau membentuk karakteristik tersendiri bagi manusia yang hidup dan berinteraksi secara intens dengan alam hidup mereka.

Tersebarnya pulau-pulau besar dan kecil dari Pulau Sumatera hingga ke Papua secara gamblang menampilkan suatu realitas hidup manusia yang sarat dengan nuansa-nuansa etnik dan kebudayaan dengan latar pandangan hidup yang beraneka ragam. Keseluruhan eksistensi kemanusiaan Indonesia terbentuk dalam bingkai konteks pulau dan laut yang termanifestasi dalam kemajemukan kultural. Oleh karena itu, pluralism menjadi realitas kebangsaan yang tidak terelakkan dalam wacana kebudayaan manusia Indonesia secara holistik.

Laut sebagai Realitas Kontekstual
Secara sosiologis, realitas kepulauan dan laut yang mendominasi interaksi kemanusiaan Indonesia sedemikian rupa pada gilirannya membawa serta suatu pandangan hidup yang khas dan unik masyarakatnya. Berbagai pandangan yang terungkap sangat kental terasa dalam istilah sehari-hari yang digunakan dalam komunikasi masyarakat. Ungkapan-ungkapan seperti “ke laut”, “tanoar”, “ikan makan ikan”, dsb., yang dikenal di kalangan masyarakat pesisir di Maluku, misalnya, sudah menjadi ungkapan yang digeneralisasi sehingga maknanya meluas sampai pada kalangan masyarakat lebih besar di mana intensitas relasional dengan laut sudah tidak lagi begitu terasa. Disadari atau tidak, ungkapan-ungkapan tersebut sudah menjadi bagian inheren dalam masyarakat Maluku.

Fenomena sosial demikian tidak terbentuk begitu saja, melainkan merupakan produk dari suatu proses interaksi yang panjang dan lama dengan konteks kehidupan masyarakat semenjak zaman leluhur mereka. Dengan perkataan lain, konteks laut dan pulau membentuk eksistensi dan karakter masyarakat (pesisir) yang khas. Ekspresi kultural yang mereka tampilkan benar-benar merupakan manifestasi kontekstual.

Orientasi Kelautan dalam Praksis Pembangunan
Sebagai suatu negara-bangsa (nation-state) yang sementara bergiat dengan program pembangunan, maka konteks kelautan dan kepulauan mau tidak mau harus menjadi pertimbangan yang urgen dari setiap kebijakan pembangunan nasional. Paradigma pertumbuhan ekonomi yang begitu gencar dilaksanakan selama masa Orde Baru mengindikasikan dengan sangat jelas pengerahan maksimal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia, tidak terkecuali potensi kelautan. Ironisnya, kebijakan pembangunan dengan paradigma pertumbuhan ekonomi justru telah menjadi boomerang bagi keseimbangan ekosistem baik di darat maupun di laut. Kendati selalu ada dalih bahwa pemanfaatan sumber daya laut sampai saat ini belumlah maksimal, namun dalam banyak praksis pembangunan itu sendiri terungkap dengan sangat gamblang bahwa pengelolaan sumber daya kelautan telah membawa dampak yang cukup fatal bagi keberlanjutan proses pembangunan (sustainable development) bangsa ini pada masa depan. Rusaknya ekosistem laut seperti terumbu karang yang menjadi habitat ikan, matinya ribuan ikan dan berbagai jenis hewan air karena limbah buangan industri, serta tumpahan minyak di laut, maraknya bisnis pariwisata kelautan tanpa suatu manajemen yang tepat menyebabkan tercemarnya sejumlah pantai, dll., menjadi indikator empiris bahwa proses pembangunan yang terselenggara sejauh ini belum menetapkan suatu orientasi kelautan yang clear and distinc.

Membangun Teologi Kelautan: Sudah Siapkah Kita?
Pertanyaan yang terlontar di atas hendaknya menyentak kesadaran kita sebagai bagian integral dari kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang sedang membangun. Kita hidup dalam suatu konteks kepulauan dan kelautan yang konkret. Namun sungguh merupakan ironi bahwa orientasi kelautan sebagai bagian penuh dan substansial dari keutuhan ciptaan Allah belum mampu membuat kita gelisah dan merangsang aktivitas berteologi kita, khususnya di zona seribu pulau, Maluku. Segenap perhatian dan konsentrasi berteologi kita selama ini terlalu lama mengabaikan kajian teologis tentang makna laut sebagai anugerah Allah yang bermuara pada lahirnya sebuah teologi baru. Praksis berteologi dengan orientasi kelautan sama sekali belum menyentuh esensinya, padahal kita hidup dalam konteks laut dan pulau. Apakah ada yang salah dengan doing theology kita? Ataukah sudah saatnya kita membutuhkan paradigma berteologi yang baru dan kritis serta kontekstual?

Kalau memang paradigma berteologi yang lama sudah terbukti tidak mampu lagi menolong kita mengembangkan suatu refleksi teologis yang segar, maka menurut saya, sudah saatnya kita melahirkan sebuah teologi baru dengan paradigma baru yang secara konsisten berorientasi ke konteks kelautan dan segenap perangkat sosio-kulturalnya. Sebuah teologi yang mampu memberi jawab atas segala tantangan perubahan zaman yang melaju pesat dan menopang kita selaku warga gereja menyikapinya secara arif tanpa kehilangan perspektif iman kristiani.

Teologi baru dimaksud adalah tercetusnya pemikiran-pemikiran teologis yang sistematis dan metodis tentang peranan umat Allah yang hidup dalam suatu situasi yang begitu akrab dengan lingkungan hidupnya. Bahwa kehadiran dan kehidupan mereka di pulau-pulau merupakan tindakan kasih karunia Allah yang tidak berhingga di mana melaluinya mereka memuliakan Allah. Segenap eksistensi mereka di pulau-pulau diimani sebagai yang berada di bawah rencana penyertaan Allah. Allah menyertai para leluhur dan membimbing mereka dalam pelayaran mereka melalui gelombang dan badai laut sampai tiba di pulau di mana mereka beranak-cucu serta membentuk suatu komunitas. Pulau di mana mereka berpijak dan mengolah tanah serta menikmati hasilnya dan laut di mana mereka menikmati hasilnya serta hidup dalam irama gelombang dan anginnya.

Allah mengaruniakan berkat-Nya yang berlimpah-limpah dari dalam tanah dan laut. Segenap umat yang telah menikmati kasih karunia Allah harus hidup dalam kesaksian yang benar, serta berbagi dengan sesamanya. Melalui akta berbagi berkat terkandung makna berbagi hidup. Dalam akta perjamuan kudus, Yesus tidak memberikan satu roti utuh kepada masing-masing murid-Nya. Yesus dengan sadar memecah-mecahkan roti (baca: membagi-bagi) sehingga setiap orang yang duduk di sekitar-Nya menerima bagian dari roti yang satu.

Tanah (pulau) dan laut merupakan satu “roti” pemberian Allah di mana semua manusia “makan” dari bagian-bagian yang diusahakannya. Dengan demikian, tidak boleh ada seorang manusia pun yang bisa mengklaim bahwa dia menguasai dan berhak atas seluruh hasil yang keluar dari dalam tanah dan laut. Dengan berbagi, manusia selalu diingatkan agar menjaga keseimbangan hidup. Pada satu pihak, segala sesuatu yang berlebihan hanya akan membentuk karakter tamak; sedangkan pada pihak lain, hidup dalam kekurangan menjadi tanda bahwa manusia tidak menghargai pemberian Allah. Keadilan menjadi basic value yang melandasi kehidupan persekutuan umat Allah di pulau dan pesisir.

Keseimbangan dapat dilihat pada contoh “perahu semang”. Gelombang laut yang tidak menentu dengan tidak terduga dapat mengempaskan perahu. Oleh karena itu dibutuhkan “semang” (cadik) agar perahu tetap berada dalam keseimbangan dan tidak terbalik kendati gelombang besar menghantam. Keseimbangan juga menjadi kekuatan hidup yang selalu berupaya menghadirkan harmoni dan perdamaian. Dari sini dapat dikonkretisasi apa yang selama ini dikenal sebagai “keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan” (justice, peace and integrity of creation).

Konsep-konsep teologis di atas merupakan sebagian kecil upaya untuk membangun suatu teologi kontekstual. Tentu saja masih terbuka peluang untuk diperdebatkan. Tetapi paling tidak kita sudah memulai. Hanya yang jadi soal: Sudah siapkah kita?

1 comment:

  1. Saya senang membaca artikel ini untuk dapat membumikan Firman Tuhan sesuai dengan konteks lingkungan masing-masing. Saya juga tertarik untuk menulis teologi kelautan.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces