Aku menulis maka aku belajar

Monday, November 24, 2008

Berteologi Kontekstual di Dunia Maya

Ketika mendengar kabar bahwa Fakultas Teologi UKIM (saya lebih condong menggunakan nama "teologi" ketimbang "filsafat") sudah merilis website, saya senang sekali. Apalagi dengan fasilitas blog. Pertama-tama, tentu ada faktor ikatan emosional sebagai alumninya. Dan ini merupakan suatu progres yang signifikan dalam pergaulan global saat ini - terutama setelah melihat betapa mengenaskan kondisi fisik kampus UKIM yang luluh-lantak dalam konflik sosial di Maluku beberapa tahun lalu. Kedua, saya menyebutnya sebagai faktor "kontekstual" karena dunia maya atau internet pada saat ini bisa menjadi salah satu sarana paling efektif untuk mencari informasi-informasi penting seputar ilmu teologi, kajian-kajian kritis yang dulu sulit sekali diperoleh karena kesenjangan jarak dan waktu, tetapi juga mendorong terbentuknya suatu habitus ilmiah yang lebih terbuka dan gaul.

Internet memang memberikan kemungkinan yang nyaris tak terbatas. Perjumpaan-perjumpaan dan diskusi-diskusi berlangsung melintasi batas-batas identitas. Dalam era internet, apa yang disebut sebagai konteks adalah konteks mondial dalam arti sesungguhnya. Sebuah gerak kemenduniaan yang tidak lagi terkurung pagar-pagar identitas etnis, budaya, kelompok sosial, agama, dan bahasa. Oleh karena itulah dunia maya sebenarnya bisa menjadi lahan subur bagi bertumbuhnya suatu karakter ilmiah yang terbuka dan kritis. "Terbuka" mengindikasikan bahwa pemikiran-pemikiran kita sudah selayaknya bersifat inklusif dan dewasa untuk melihat dan menyerap berbagai informasi di dunia maya. "Kritis" mengindikasikan bahwa meskipun inklusif, tetapi tidak semua informasi itu kita perlukan dan oleh karena itu kita membutuhkan suatu pijakan teoretis atau parameter keilmuan yang memampukan kita untuk memilah mana saja informasi yang kita perlukan bagi pengembangan tradisi keilmuan kita di fakultas teologi.

Kenyataan tersebut menghadapkan kita kepada suatu tantangan baru berkaitan dengan relasi keilmuan antara dosen dan mahasiswa. Seberapa jauh proses belajar-mengajar dan berdiskusi di kalangan civitas academica fakultas teologi UKIM benar-benar dibangun dari suatu proses yang inklusif dan kritis di era internet semacam ini? Siapkah mahasiswa dan dosen berdialog dan berdialektika secara cerdas dan santun dengan memanfaatkan media internet? Itu hanyalah dua pertanyaan dari begitu banyak pertanyaan yang bisa diajukan berkaitan dengan pemanfaatan internet dalam proses berteologi.

Paradigma keilmuan teologi kita pada tataran ini sudah seharusnya bergeser atau bahkan didekonstruksi sehingga paradigmanya tidak lagi terpaku pada "teaching university" yang satu arah; tetapi sungguh-sungguh menempatkan seluruh kemajuan teknologi abad ini untuk mengisi dan mengkritisi terus-menerus paradigma berteologi kita. Konsep "jemaat" yang menjadi subject matter dalam pergulatan berteologi kita saat ini bahkan sudah mengalami pergeseran konseptual. Kalau kita berselancar di dunia maya, kita akan menemukan bahwa hampir sebagian besar generasi muda dan kalangan akademisi di Maluku sudah akrab dengan internet. Bahkan beberapa pendeta (termasuk saya) sudah lebih aktif berdiskusi melalui media weblog. Pertukaran pengalaman dan ilmu terjadi di sana. Sehingga betapa ironisnya jika kalangan dosen-dosen teologi malah kedodoran karena tidak melibatkan diri dalam arena gaul internet ini alias "gatek" (gagap teknologi).

Ini bukan pelecehan atau penghinaan, melainkan suatu tantangan bagi teologiwan dan teologiwati di Maluku abad ini. Kita tidak bisa melihat seluruh perkembangan ini sebagai sesuatu yang tidak penting. Buku memang masih memegang peranan penting dalam proses belajar-mengajar, tetapi akses internet yang cepat dan mahaluas itu telah memungkinkan setiap orang (baca: jemaat dan mahasiswa teologi) memperoleh informasi yang cukup luas dan valid mengenai ilmu teologi yang mereka geluti atau pertanyaan-pertanyaan teologis yang menggelisahkan mereka. Kalau para pendidik teologi tidak siap dan emoh menceburkan diri dalam arena dunia maya, maka kemampuan kita untuk merespons dinamika teologi mondial akan semakin tumpul. Bukan tidak mungkin apa yang kita ajarkan suatu ketika hanya dianggap "fosil" karena sama sekali tidak up-to-date dengan diskursus teologis yang berkembang dan menghangat pada suatu konteks.

Dengan demikian, mungkin sudah saatnya para pembelajar teologi - dalam hal ini, para dosen teologi - mulai membiasakan diri untuk berselancar di dunia maya dan mencermati bagaimana "dunia" ini menyajikan kekayaan sumber-sumber untuk menginjeksi teori-teori baru dalam ilmu teologi. Dengan cara itu, teologi kontekstual yang dibangun tidak lagi menjadi "teologi lokal" dalam artinya yang tradisional, melainkan menjadi sebentuk teologi multikultural karena berinteraksi secara kritis dengan berbagai lokalitas yang tersaji dalam locus internet. Berbagai lokalitas tersebut menjadi sumber inspirasi untuk membangun suatu pemahaman iman dalam konteks kehidupan bersama secara mendunia tanpa tersekat kaku pada politik identitas yang pernah membuat dunia menjadi suatu konteks apartheid.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces