Aku menulis maka aku belajar

Thursday, September 25, 2008

Perempuan

Sudah lama kasus penyiksaan terhadap perempuan-perempuan Indonesia yang bekerja sebagai Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri disoroti oleh media nasional maupun internasional. Namun rasanya seluruh kasus dan derita korban penyiksaan dan/atau pemerkosaan seperti bergema di ruang hampa. Benarkah masyarakat kita sudah kehilangan kepekaan terhadap nasib anak-anak bangsanya sendiri? Rasanya tidak juga. Lihat saja bagaimana dalam banyak peristiwa yang terjadi belakangan ini ternyata mengundang beraneka ragam reaksi dan protes baik yang dilakukan secara persuasif maupun dengan aksi demonstrasi massal. Gencarnya pemberitaan media terhadap gelombang protes dan demonstrasi pro-kontra mengenai suatu peristiwa nasional/internasional serta implementasi kebijakan pemerintah, itu saja sudah menjadi indikator empiris bahwa masyarakat kita bukannya tidak peka.

Tetapi mengapa begitu sampai pada isu perempuan yang menjadi babu di tanah orang, lalu mengalami penindasan dan pemerkosaan, seolah-olah hanya sebuah berita biasa. Sangat berbeda dengan sikap dan militansi perlawanan kita terhadap isu “Palestina” atau “korupsi”. Bukan berarti itu tidak penting. Tetapi sungguh bebal jika kita melayangkan pandangan kita dan berkoar-koar meneriakkan keadilan dan kemanusiaan terhadap sesuatu yang jauh di sana; sementara pada saat yang sama kita juga menyadari bahwa kehidupan dan kemanusiaan perempuan-perempuan Indonesia – mungkin ibu kita, mungkin saudara perempuan kita, mungkin istri kita – dicabik-cabik oleh angkara syahwat para majikan sontoloyo di negara-negara lain. Jangan bicara keadilan, jangan bicara agama, jangan bicara kesejahteraan, jangan bicara martabat bangsa. Semua itu hanya uap mulut yang berbau busuk karena bangsa lain tetap akan melihat kita sebagai “kacung” dan “babu” yang bisanya menghibur diri dengan kemolekan kampungan tetapi tetap mau diinjak-injak menjadi keset bangsa lain. Martabat bangsa kita sesungguhnya tidaklah terletak pada diplomasi licin para elite politik, atau pesona basi para pejabat negara, atau debat palsu undang-undang negara yang sarat manipulasi kepentingan jabatan dan uang. Martabat bangsa kita ini sesungguhnya terletak pada kaum tangguh dan rentan yang kita panggil “perempuan”.

Saya teringat cerita dalam Injil Yohanes 4:1-42 tentang percakapan Yesus dengan perempuan Samaria. Sebuah perikop yang cukup panjang, yang menarasikan dialog Yesus dan perempuan itu. Perempuan itu tak bernama. Identitasnya hanya ditentukan oleh representasi lokalitasnya – Samaria. Sungguh ironis, bahkan dalam Injil-injil pun, banyak perempuan yang tak bernama. Padahal mereka sering disebutkan sebagai orang-orang tangguh yang beriman cadas. Panjangnya dialog mereka menandakan bahwa perempuan ini mampu merespons setiap pernyataan Yesus. Sehingga perjumpaan yang semula hanya diawali oleh permintaan Yesus meminta air, menjadi sebuah percakapan eksistensial yang membawa pada suatu transformasi kehidupan.

Yesus meminta air dari perempuan itu. Perempuan itu malah menanggapi dengan suatu pertanyaan sinis, “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” Kesinisan itu sebenarnya merupakan sebuah pukulan telak bagi Yesus sebagai seorang Yahudi. Sudah tentu Yesus tidak menyangka akan ditanggapi seperti itu, tetapi yang pasti Yesus juga memahami psikologi perempuan itu yang terbentuk dalam lingkungan sosial saat itu. Perempuan itu seolah-olah mengolok Yesus, “Katanya kalian orang Yahudi itu orang-orang suci, tapi kok masih mau meminta sesuatu dari kami yang najis dan kafir ini?” Perempuan itu menelanjangi kepongahan sosial dan spiritual kaum Yahudi yang selama ini menjadi pagar segregasi sosial yang utama antara Yahudi dan Samaria. Dan pagar segregasi sosial itu dibangun di atas pondasi religiositas yang angkuh.

Sebagai orang Yahudi, Yesus pun terhisab dalam struktur kesadaran budaya yang membingkai identitasnya. Jelas dalam ucapannya, “…sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi.” Yesus menyadari bahwa keyakinannya sangat dipengaruhi oleh pemikiran dan tradisi iman Yahudi. Tetapi Ia ternyata tidak berhenti pada keyakinan tradisi keyahudiannya. Yesus hendak melampaui identitas keyahudiannya dengan mengatakan, “Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian.” Ungkapan “menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran” merupakan suatu pernyataan yang revolusioner, yang menantang keyakinan Yahudi sendiri yang selama ini terbelenggu oleh religiositas yang simbolistik dan ritualistik. Agama [Yahudi] saat itu sudah menjadi agama hukum yang nyaris menegasi kemerdekaan manusia untuk menjalani hidup dalam hakikat kerohaniannya (spiritualitas). Manusia kehilangan kemerdekaan memaknai hidup dan relasinya dengan Sang Tuhan, karena di sepanjang jalan kehidupannya ada begitu banyak rambu-rambu keagamaan yang membuat manusia tidak mampu menikmati hidupnya sendiri dan melihat ke depan, ke tujuan, di mana ia mengorientasikan jalan hidupnya.

Orientasi legalistik dalam kehidupan beragama [Yahudi] kemudian dibalik menjadi orientasi kehidupan kemanusiaan itu sendiri. Itulah yang dialami oleh perempuan Samaria itu selama percakapannya dengan Yesus. Perempuan itu bersaksi (ayat 39), “Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat.” Yesus memusatkan seluruh percakapannya dengan perempuan itu pada “hidup” sang perempuan. Tanpa menghakimi, tanpa menudingnya sebagai “najis” (karena perempuan itu hidup bersama laki-laki yang bukan suaminya). Percakapan mereka menjadi suatu dialog kehidupan yang membawa transformasi pada kedua belah pihak: baik Yesus maupun perempuan itu. Pengalaman perempuan itu menjadi titik tolak dari proses transformasi kehidupan perempuan itu maupun masyarakatnya. Kejujurannya menjadi kekuatan untuk menerima hidupnya dan kehadiran orang lain sebagai bagian dari memberi makna pada keperempuanannya. Ia menjadi seorang manusia perempuan yang merdeka – “bersaksi” yang berarti menyatakan bahwa ia mampu mengatakan kebenaran yang mencerahkan dirinya, kepada orang lain.

Dalam konteks itu, perempuan Samaria itu benar-benar menjadi mitra dialog. Ia tidak perlu menjadi “Yahudi”; ia tidak perlu bersikap kelaki-lakian agar dapat bercakap-cakap dengan Yesus; ia tidak perlu garang membela diri kendati ia cerdas berdebat dengan Yesus; ia tidak mengingkari realitas keperempuanannya dan seluruh keberadaannya malah mengakuinya secara tulus. Ia menjadi perempuan yang perempuan, yang mendialogkan kehidupan dengan Yesus – yang laki-laki dan Yahudi – secara jujur tanpa selubung kemunafikan. Perempuan Samaria itu, dengan segala keberadaan dirinya, telah menjadi kekuatan transformatif bagi masyarakatnya.

Perempuan-perempuan Indonesia yang menjadi babu di tanah orang, bukanlah manusia-manusia lemah-cengeng seperti para tikus-tikus di senayan yang bisanya hanya merengek-rengek minta segala fasilitas negara; atau yang hanya lincah berkelit dalam debat kusir atas nama rakyat. Perempuan-perempuan itu mengangkat nama bangsa kita walau hidup mereka tercabik-cabik, tubuh mereka terkoyak. Tak perlu menggelari mereka sebagai “pahlawan devisa negara”, suatu eufemisme yang lacur. Mereka tak ingin menjadi pahlawan, mereka hanya ingin menjadi perempuan yang dihormati sebagai perempuan, dalam kebertubuhan mereka dan dalam spiritualitas mereka.

Seperti perempuan Samaria di atas, para perempuan inilah yang sebenarnya menggiring seluruh proses transformasi keindonesiaan kita masa kini. Nasionalisme ala Soekarno makin memudar, jatidiri bangsa ala Soeharto makin terkikis, martabat bangsa ala Gus Dur, Megawati, dan SBY, makin meleleh oleh kobaran liar kapitalisme. Namun toh perempuan-perempuan babu ini, merekalah “korban” (victims) dari sekaligus “kurban” (sacrifice) bagi peradaban bangsa kita. Bukankah harus kita akui bahwa peradaban bangsa kita sebenarnya dibangun oleh babu-babu perempuan, sejak zaman kolonialisme hingga zaman yang – katanya – merdeka ini. Bisakah kita mengelak bahwa suatu ketika generasi “bening” Indonesia masa depan dengan wajah-wajah asing, hidung mancung, kulit putih, tinggi badan di atas rata-rata, yang kelak akan dipuja-puja sebagai selebritas akan mengakui bahwa “ibuku seorang babu, yang diperkosa oleh majikannya”?

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces