Aku menulis maka aku belajar

Monday, June 9, 2008

Beragama Yang Repot


Pagi ini perjalanan ke kantor terhambat karena iring-iringan sepeda motor dan bus metromini yang mengangkut orang-orang yang akan berunjuk rasa di Monas. Saya tidak tahu mereka dari kelompok mana. Hanya jelas terbaca tulisan-tulisan pada spanduk-spanduk yang dibentangkan dan kertas-kertas kecil yang ditempelkan di kaca depan bus metromini. Tulisannya singkat: "Bubarkan Ahmadiyah! Bebaskan Habieb Rizieq!". Semua peserta unjuk rasa mengenakan pakaian putih-putih. Dari tulisan itu jelas bahwa kelompok ini terkait atau sengaja mengaitkan diri dengan insiden kekerasan oleh FPI kepada AKKBB (Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan) pada 1 Juni lalu di Monas. Aksi kekerasan sepihak yang dilakukan tepat pada hari lahirnya Pancasila.

Sampai di kantor, mengintip sejenak blog untuk membaca peristiwa apa yang pernah terjadi di dunia ini pada suatu waktu dan tempat. Saya terkesan dengan kutipan hari ini dari ucapan Anna Sewell (1820-1878), seorang penulis Inggris, yang karyanya Black Beauty (1877) menjadi karya klasik buku cerita anak. Dia bilang begini: There is no religion without love, and people may talk as much as they like about their religion, but if it does not teach them to be good and kind to man and beast, it is all a sham.

Saya termenung sejenak. Benarkah demikian? Benarkah tiada agama tanpa cinta? Atau, kalau bisa dibalik: benarkah tiada agama tanpa kekerasan? Saya tidak menafikan bahwa agama-agama mempunyai peran penting dalam membangun peradaban manusia yang luhur. Tetapi rasanya kita juga harus realistis bahwa hampir sebagian besar kekerasan yang terjadi di seluruh belahan dunia dan di sepanjang abad peradaban manusia, ternyata berakar pada persoalan seputar "agama". Dalam film Mississippi Burning yang disutradarai oleh Alan Parker, dibintangi oleh Gene Hackman dan Willem Dafoe, ada satu pernyataan yang diberikan oleh Mrs. Pell (Frances McDormand), istri seorang anggota kepolisian lokal, "Akar semua kekerasan ini adalah Alkitab." Itu jawaban yang diberikannya ketika dua orang anggota FBI menanyakan dari mana sumber kekerasan yang menggerakkan sekelompok orang yang tergabung dalam organisasi Ku-Klux-Klan (lihat http://www.kukluxklan.bz/) . Dua orang anggota FBI tersebut memang ditugaskan untuk menyelidiki hilangnya empat aktivis kemanusiaan - yang adalah orang negro dan orang Yahudi. Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata.

Penyelidikan tersebut menghadapi banyak tantangan karena konspirasi sejumlah perwira polisi dan elite politik lokal yang berusaha menutupi kasus tersebut. Namun, tantangan terbesar justru berasal dari masyarakat sendiri. Komunitas kulit putih menganggap hilangnya aktivis-aktivis negro dan yahudi itu tidak perlu dipersoalkan. Kaum negro dan yahudi hanyalah kelompok pinggiran yang bau dan bermental budak, sehingga tidak layak hidup bersama kaum kulit putih. Ideologi superior kulit putih telah mengonstuksi cara pikir sosial masyarakat sehingga membenarkan cara apa pun - termasuk kekerasan - yang diberlakukan kepada kaum negro dan yahudi. Suatu ideologi yang dikenal dengan sebutan WASP (White Anglo Saxon Protestant). Dan ideologi ini bermula dari cara mereka menafsir Alkitab, atau mungkin karena Alkitab itu sendiri mengandung dimensi-dimensi kekerasan?

John Spong dalam bukunya The Sins of Scripture: Exposing the Bible's Texts of Hate to Reveal the God of Love, tidak sepakat bahwa kekerasan atas nama agama semata-mata lahir dari cara membaca dan menafsir kitab suci. Dia mengatakan, "Slowly I was also forced to acknowledge that every great battle that I had joined both as a priest and as a bishop, to call the church into being what I believed the church had to be, was ultimately a battle against the way the Bible had been used throughout history... At first I convinced myself that the problem was not in the Bible itself, but in the way the Bible was used. That, however, was a defensive and ultimately dishonest response. I had to come to the place where I recognized that the Bible itself was often the enemy. Time after time, the Bible, I discovered, condemned itself with its own words." (hlm. 11) Sebuah pernyataan yang jujur dan berani!

Harus diakui bahwa religiositas kita memang sangat ditentukan oleh tradisi (ajaran-ajaran religius) dan interpretasi terhadap kitab suci. Tidak ada ajaran agama yang "murni". Setiap ajaran agama selalu merupakan respons terhadap realitas kontekstual pada suatu waktu dan tempat, dan oleh berbagai macam orang dan kepentingannya. Kalaupun ajaran-ajaran agama tersebut dibakukan menjadi tradisi maka itu semata-mata hendak digunakan sebagai landasan bagi stabilitas institusi agama yang bersangkutan. Karena di sepanjang sejarah peradaban manusia, tidak pernah ada satu interpretasi tunggal terhadap apa yang dimaknai sebagai "Tuhan". Peran tradisi agama adalah memberi kepastian di tengah-tengah berbagai macam interpretasi mengenai hakikat atau iman suatu agama, atau mengenai sang "Tuhan" itu. Namun, itu tidak berarti bahwa tradisi agama tidak bisa berubah. Selalu terbuka kemungkinan untuk mengalami perubahan. Itu sebabnya, tradisi suatu agama tidak bisa dilihat sebagai sesuatu yang jumud.

Demikian pula halnya dengan interpretasi kitab suci. Dalam tradisi penyusunan kitab-kitab dalam Hebrew Bible, peranan para skriba (penulis kitab suci) sangat penting. Para skriba ini bukanlah kelompok yang bebas kepentingan. Mereka memiliki hubungan yang erat dengan penguasa-penguasa politik dan ekonomi. Karena itulah dalam penyusunan atau penulisan kitab-kitab, masuk pula kepentingan-kepentingan tertentu (politik, ekonomi, dsb). Hal yang sama berlaku pula dalam penyusunan kitab-kitab dalam Perjanjian Baru. Proses kanonisasi atau penentuan kitab-kitab mana yang pantas dimasukkan dalam "Alkitab", juga bukanlah sebuah proses bebas-budaya. Dari situlah dapat kita mengerti mengapa teks-teks dalam Alkitab kerap mencerminkan suatu pandangan dunia tertentu, yang dalam banyak hal mengandung kekerasan dan kekuatan dominasi pola pikir budaya patriarki. Karena memang Alkitab tersusun dalam konteks budaya semacam itu. Bahkan, Tuhan pun dikonstruksi sebagai "He", "His". Tuhan berjenis kelamin laki-laki. Karena "He", maka Tuhan pun harus bertingkah dan bertindak seperti laki-laki. Tak heran, hampir dalam seluruh karakter beragama - khususnya Kristen - Allah lebih ditampilkan sebagai sosok "penguasa", "penakluk", "pemarah". Sementara interpretasi teologis terhadap feminitas Allah dianggap sebagai sesuatu yang ganjil. Suatu ketika ada seorang pendeta perempuan yang dikritik oleh seorang anggota jemaat ketika berdoa dengan menyebutkan "Allah, Ibu Kami di Sorga...", yang memperlihatkan bahwa konstruksi Allah ternyata terbelenggu dalam pola pikir budaya yang masih sangat patriarki. Padahal, apa yang salah dengan menyebutkan Allah sebagai Ibu atau Perempuan, "She", "Her"?

Dekonstruksi kitab suci, menurut saya, harus dilakukan secara konsisten. Dekonstruksi di sini tidak dalam arti desakralisasi sebagaimana yang ingin dilakukan oleh kaum humanis. Tidak. Agama tetap membutuhkan sebuah landasan tradisi yang menjadi dasar eksistensinya dalam berbagai perubahan yang terjadi saat ini. Dekonstruksi yang saya maksud adalah suatu keterbukaan dan keberanian untuk membaca dan menafsir kitab suci bukan sebagai "kata-kata Allah", melainkan sebagai refleksi iman orang-orang yang menuliskan kitab-kitab dalam kitab suci. Orang-orang tersebut adalah manusia biasa yang berpikir, bertutur, bertindak, sesuai dengan pola pikir budaya mereka. Sementara kita yang hidup dalam konteks yang berbeda dengan mereka mempunyai pola pikir budaya yang jauh berbeda. Dekonstruksi interpretatif terhadap teks-teks kitab suci diperlukan agar kita justru menemukan esensi kemanusiaan dalam kitab suci. Kita tidak terpesona terhadap "Allah" tetapi melupakan pesona "kemanusiaan" kita. Allah hanya mewujud secara paripurna ketika kita mengakui bahwa kita perlu menjaga keutuhan kemanusiaan bersama.

NU, Muhammadiah, Ahmadiah, Katolik, Protestan, Buddha Mahayana, Hindu, Konghucu, Kakehan, Aluk Todolo, Kejawen, dsb, merupakan penampakan dari kreativitas kemanusiaan dalam mencerap Sang Misteri. Apakah Sang Misteri itu mampu dikenal secara paripurna? Tentu tidak. Yang bisa kita tangkap paling-paling hanyalah bayangan kebesaran-Nya atau sepercik kemuliaan-Nya saja. Bayangan-bayangan kebesaran dan percik-percik kemuliaan Sang Misteri itu dalam arti sepenuhnya dapat kita temukan dalam suatu relational-faith (iman yang membangun relasi) antarmanusia. Relational-faith adalah kesadaran beriman untuk menempatkan sang liyan dalam relasi "Aku-Engkau" (I-thou), bukan "Aku-Benda" (I-it), seperti yang dikatakan oleh filsuf Martin Buber. Bagaimana mungkin saya memahami Sang Misteri atau Allah jika pada saat yang sama saya mengabaikan manusia yang lain? Bagaimana mungkin saya mengasihi manusia jika saya tidak menyadari bahwa Sang Misteri itu hidup dalam hubungan-hubungan kemanusiaan yang utuh di bumi ini? Bagaimanakah iman saya menjadi bermakna jika tindakan saya justru merendahkan dan melecehkan Allah, dengan cara-cara yang kita imani tidak sesuai dengan sifat-sifat Allah itu, yang penuh rahmat bagi seluruh ciptaan?

Relational-faith adalah suatu pengakuan bahwa tidak ada satu agama pun yang berasal dari sorga atau nirwana. Agama hanyalah konstruksi kontekstual teologis manusia. Dengan kesadaran itu "beragama" adalah sebuah cita-cita untuk memulihkan harkat dan martabat kemanusiaan sebagai imago Dei. Jika beragama hanya suatu kosmetik kesalehan dengan polesan hipokrisi, beragama seperti itu justru menghina kemuliaan Sang Misteri. Jika beragama hanya berujung pada penghancuran imago Dei, maka justru di situlah letak kesesatan beragama. Yakni, agama direduksi menjadi "senjata" untuk menghancurkan kemanusiaan orang lain. Jika beragama hanya menumbuhkan arogansi dan prasangka yang mengarah pada penghakiman orang lain, maka beragama semacam itu tidak lebih dari kemaksiatan dan mencabuli kemuliaan Sang Misteri dengan nafsu-nafsu egoisme sendiri.

Jadi beragama seperti apa yang sekarang hendak kita pamerkan?


No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces