Aku menulis maka aku belajar

Friday, January 4, 2008

Tahun Baru - Masih ada yang baru?


Tahun 2007 telah berlalu dengan seabrek pengalaman pahit-manis, sukses-gagal, suka-duka dll. Kita memang tidak melupakan begitu saja pengalaman-pengalaman tersebut. Dan memang, pengalaman-pengalaman itu (apapun wujudnya) tidak boleh kita lupakan, tetapi seharusnya terus menjadi api pemantik semangat untuk melihat menerobos kabut masa depan yang menyaput mata kita.

Masih kental dalam ingatan kita, dalam langkah-langkah awal memasuki tahun 2007 Jakarta lumpuh total terkepung dan "tenggelam" banjir bandang. Sejumlah bencana serupa terjadi pula di beberapa daerah di Indonesia. Bahkan, bangsa ini seolah-olah tak letih digempur oleh berbagai bencana - gempa bumi, tanah longsor, banjir, kebakaran dsb. Belum usai 2007, pada detik-detik pergantian tahun kita kembali mengelus dada dan nyaris tak mampu menitikkan air mata menyaksikkan bencana demi bencana masih terus akrab memeluk nyawa anak-anak negeri ini.

Pemimpin berganti, janji pun berbuih. Tetapi - seperti yang sudah-sudah - tak nampak apa yang bisa ditagih oleh rakyat. Memang, perubahan tidaklah sejenak bak mimpi semalam. Memang, kebobrokan tak mempan ditembus peluru hukum. Kita pun bisa mencari remah-remah alasan yang bisa mengenyangkan isi perut kehidupan kita untuk barang sejenak. Tetapi akankah perubahan (menjadi lebih baik, tentunya) hanya menjadi mitos baru yang melelapkan tidur kita di atas kasur dan bantal yang sudah basah dan bau karena tercelup kuyup dalam banjir dan longsor? Ataukah lebih baik mimpi-mimpi kita akan udara yang bersih dan lingkungan yang sehat (serta mimpi-mimpi lain) terkubur bersama tanah lempung becek yang longsor karena tidak ada lagi akar-akar pohon yang menyangganya?

Kita tidak boleh putus pengharapan - itu sudah pasti. Karena tantangan dan penderitaan tidak pernah lari dari realitas kemanusiaan kita. Pun, kita tidak pernah bisa kabur langkah seribu dari penderitaan dan tantangan. Pengharapan selalu membuat kita lebih optimis mengolah masa kini sebagai hasil pembelajaran atas masa lampau yang telah lewat dan perencanaan masa depan yang belum datang. Jika demikian, hidup ini memang adalah kontinuitas pemaknaan dan laku masa kini. Suatu pemaknaan abadi, karena masa kini itu ternyata terus berlangsung. Kita selalu berada dalam masa kini.

Menyambut tahun baru tidaklah terletak pada makna simbolik angka tahun yang bertambah. Menyambut tahun baru adalah keterbukaan pada masa kini yang baru secara kualitas. Itu berarti bahwa kita sedang memberi makna lagi dan lagi pada kekinian yang sedang dijalani. Yang lalu menjadi pelajaran, yang akan datang menjadi penantian, tetapi yang kini sedang dan terus dilakukan. Belajar dari sejarah sangat penting, tetapi terkungkung dalam kelampauan hanya akan melumpuhkan kehidupan. Optimis pada masa depan yang lebih baik adalah sesuatu yang menggairahkan, tetapi terlena dalam buaian mimpi-mimpi tanpa orientasi hanya membuat kita meriang karena terguyur semangat tanpa sengat. Yang tersisa kemudian hanyalah laku kini dan di sini. Artinya, perubahan adalah sekarang dan di tempat ini. Perubahan adalah eksistensiku dan konteksku, yang bergerak tanpa henti seirama hukum mentari yang terbit di timur dan terbenam di barat, sealunan air pasang-surut di laut. Tetapi jika hidup tak lagi seirama dengan alunan alam, benarkah kita sedang melakukan kekinian dan menyongsong keakanan yang lebih baik? Ataukah kita hanya menciptakan kerusakan-kerusakan karena yang baru dari eksistensi kemanusiaan kita yang ternyata bukan barang baru, yaitu kerakusan, yang telah memberangus persaudaraan kemanusiaan dengan semua ciptaan.

Karenanya menarik untuk merenungkan apa yang tertulis dalam Kitab Pengkhotbah 3:15 "Yang sekarang ada dulu sudah ada, dan yang akan ada sudah lama ada; dan Allah mencari yang sudah lalu." Jika dapat ditafsir secara sederhana, teks ini menunjuk pada suatu kenyataan bahwa sebenarnya tidak ada yang baru dalam gerak zaman. Lihat saja perkembangan mode busana dalam setiap tren tahunan. Zaman bergerak maju tetapi mode of thought seolah bergerak melingkar kembali kepada kelampauan. Dengan demikian, soalnya tentu bukan pada mode of performance tetapi pada mode of thought itu tadi. Atau dengan perkataan lain, yang berubah semestinya bukan tampilan fisik, tetapi performa kualitatif yang menyentuh ranah lahir maupun batin.

Di dalam tahun yang "baru", kita tentu akan banyak membuang barang-barang lama dan menggantikannya dengan yang baru, yang lebih canggih. Namun, jauh dari itu semua, sebenarnya tahun yang baru juga memberi kita kesempatan untuk membangun sebuah moralitas baru (new morality) dalam setiap aspek kehidupan di dunia yang tidak pernah baru ini. Moralitas baru bukanlah sebentuk kesalehan baru, tetapi sebuah cara pandang baru dalam melihat hidup sendiri, hidup bersesama, hidup berdunia dan hidup bertuhan. Semuanya itu merupakan satu kesatuan yang membentuk jati diri kita sebagai manusia. Kualitas kemanusiaan kita makin tereduksi jika keutuhan kemanusiaan hanya terpola pada bentuk lahiriah semata. Bukannya itu tidak penting, tetapi itu bukanlah yang terpenting. Karena signifikansi terletak hanya pada kekuatan relasional antara yang lahir dan batin, moralitas itu.

Semoga tahun 2008 kita selamat!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces