Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Pemuda Gereja dan Pemaknaan Identitas

Pengantar*

Sophie Amundsen, seorang pelajar sekolah menengah berusia empatbelas tahun. Suatu hari sepulang sekolah, dia mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Belum habis keheranannya, pada hari yang sama dia mendapat surat lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya?” seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Dia mulai belajar filsafat.

Kutipan di atas adalah sinopsis dari novel filsafat karya Jostein Gaarder yang judul aslinya “Sofie’s Verden” (Norwegia); Sophie’s World (Inggris); dan dalam edisi bahasa Indonesia diterbitkan oleh Mizan dengan judul “Dunia Sophie”. Novel ini sempat menjadi best-seller dunia pada tahun 1995. Di dalamnya Gaarder menyajikan sejarah filsafat dalam bentuk novel (sesuatu yang luar biasa mengingat rumitnya sejarah dan pemikiran para filsuf dunia sejak zaman Yunani hingga era modern).

Tetapi kita tidak sedang membahas buku itu. Saya justru agak digelisahkan dengan subtema “Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu” yang didasarkan pada Injil Yohanes 14:27. Kegelisahan itu rupanya sama seperti yang dirasakan oleh sang tokoh utama dalam novel itu, Sophie: “Siapa kamu?”. Pertanyaan itu pula yang sebaiknya mengawali diskusi kita saat ini.

Dalam dunia pemikiran filsafat, pertanyaan tersebut adalah pertanyaan pertama-tama yang kemudian melahirkan pertanyaan-pertanyaan lanjutan mengenai hakikat hidup keberadaan manusia dan dunia, serta bagaimana relasi eksistensial dengan substansi-substansi yang lain (sesama manusia, hewan, tumbuhan, lingkungan hidup). Pertanyaan “siapa kamu” adalah pertanyaan yang eksistensial. “Siapa kamu” (who are you; mindarokomu) berbeda dengan “apa namamu” (what is your name; apa sangammu). Kita bisa menyebutkan nama kita dengan singkat, tetapi mengenai hakikat diri kita atau identitas kita sebagai manusia membutuhkan suatu uraian panjang lebar dalam jangka waktu yang panjang (bisa jadi, seumur hidup ~ termasuk mengenai kepribadian, latar sosial-budaya, ekonomi dan seterusnya).

Jadi hakikat sebuah identitas itu tidak terpaku mati pada sebuah nama (seperti kata William Shakespeare: apa arti sebuah nama). Identitas kita sebagai manusia mempunyai makna yang lebih dalam, bahkan mencakup seluruh proses kesejarahan kita. Identitas kemanusiaan bukanlah sesuatu yang statis, melainkan dapat terus mengalami perubahan. Tetapi pada saat yang sama, ketika identitas digempur oleh berbagai realitas perubahan, ada suatu dorongan untuk mempertahankan prinsip-prinsip atau nilai-nilai utama yang tetap memagari identitas agar tidak terlebur dalam perubahan namun menjadi sumber hikmat yang memaknai perubahan.

Karena itulah, saya merasa pemakaian kata “alat” dalam subtema ini menjadikan identitas kita sebagai pemuda agak kaku dan tidak menggambarkan proses pembentukan kesadaran yang dinamis bagi peran kaum muda dalam pergumulan hidup menggereja di tengah konteks masyarakatnya.

Memaknai Identitas

Persoalan identitas adalah persoalan kemanusiaan. Manusia adalah makhluk simbolik yang selalu ingin untuk dikenal oleh orang lain. Itu pula yang sementara terjadi di jemaat Efesus.

Apa yang terjadi di Efesus? Kita bisa melihatnya pada ayat 14: perseteruan. Perseteruan (konflik) ini dilihat sebagai “tembok pemisah” antara kedua pihak: Yahudi dan non-Yahudi. Tetapi perseteruan itu adalah akibat (implikasi) dari sesuatu yang lebih mendasar yaitu “proses identifikasi sosial” (identitas); suatu proses mendefinisikan diri dan kelompok berdasarkan ciri-ciri simbolik bersama yang kemudian dilegitimasi oleh suatu ideologi superioritas kelompok tertentu atas kelompok yang lain.

Sekarang pun kita melihat betapa masyarakat dunia terperosok ke dalam perseteruan tiada henti hanya karena alasan “identitas” (agama, etnisitas, budaya, golongan ekonomi, parpol, negara maju/negara berkembang, identitas nasional/identitas primordial dsb). Termasuk pula gereja-gereja kita yang melekatkan nama kelompok primordial pada gereja: GPM, GT, GBKP dll. Walaupun mengklaim sebagai persekutuan yang terbuka, namun penamaan itu telah menciptakan citra kelompok yang eksklusif (tertutup) dimana hanya orang-orang yang berasal dari akar budaya dan bahasa yang sama yang bisa bertemu di situ. “Yang lain” (other) tidak punya tempat.

Itulah sebabnya masyarakat manusia tidak pernah bisa berhenti berkonflik. Konflik, kata George Simmel, merupakan tanda bahwa suatu masyarakat sedang bergerak maju. Malah konflik itu sebenarnya yang menciptakan masyarakat. Hal itu juga yang dicatat oleh Terrance Bigalke dalam bukunya Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People, bahwa identitas “Toraja” itu sebelumnya belum ada sampai masyarakat yang hidup dalam tondok-tondok berhadapan dengan “yang lain” yakni Islam dan Kristen Barat (hlm. 110).

Mari kita lihat sekarang bagaimana proses identifikasi sosial yang dilakukan oleh orang Yahudi di Efesus. Supaya mereka [tampak] berbeda dengan kelompok lain non Yahudi, mereka melekatkan sejumlah atribut identitas:

  • Menciptakan istilah “bukan Yahudi” (gentile)
  • Berdasarkan tradisi: tak bersunat
  • Tidak masuk “kewargaan” Israel
  • Tidak masuk “perjanjian”
  • Tanpa pengharapan (?)
  • Tanpa Allah (?)

Seluruh atribut tersebut menjadi “tembok pemisah” yang membedakan kelompok kita (ingroup) dan kelompok mereka (outgroup). Pembedaan semacam itu dalam kenyataan sering mengerucut menjadi konflik antargolongan bahkan dengan menggunakan tindakan kekerasan. Di situlah kemudian kita menemukan bahwa “perbedaan” tidak dipahami sebagai suatu realitas yang mesti diterima sebagai anugerah, melainkan sebagai ancaman terhadap diri sendiri. Perbedaan yang seharusnya memperkaya kehidupan dengan warna-warni dinamika kelompok sosial malah terus dilihat sebagai bahaya. Sehingga kita tidak lagi merasa hidup di “taman firdaus” tetapi di “taman safari”. Yang merasa lemah selalu terancam oleh kepentingan yang kuat; yang kuat cenderung mengabaikan kehidupan yang lemah. Hukum yang berlaku adalah “hukum rimba”.

Tuhan menciptakan kita dengan kemampuan untuk membangun kebudayaan. Dalam kebudayaan, hidup kita menjadi kaya dengan berbagai simbol. Makna simbol-simbol itu bukanlah sesuatu yang baku-kaku, tetapi terus mengalami perubahan makna seiring perubahan zaman.

Kekristenan dan Transformasi Sosial-Budaya

Dalam film “Pong Maramba” kita sudah melihat bagaimana orang Toraja membangun kebudayaan dalam tatanan simbol-simbol yang maknanya mesti ditafsir ulang terus menerus (kontekstualisasi) sehingga makna itu tetap bernilai dalam membangun kehidupan bersama dalam konteks yang berubah.

Kita tidak bisa menyangkali bahwa identitas ketorajaan kita bukanlah sesuatu yang jatuh dari langit. Identitas ketorajaan kita adalah suatu konstruksi sosial-budaya yang dibangun berdasarkan kesepakatan dan konflik dengan unsur-unsur budayawi yang lain (misalnya, Bugis, Islam dan Kristen).

Oleh karena itu, ketorajaan kita sekarang ini adalah suatu bentuk transformasi identitas yang berlangsung tanpa henti. Anda sedang berada dalam proses “menjadi” orang Toraja dan memberi makna pada identitas ketorajaan dalam perubahan zaman.

Jika kemudian para leluhur kita bersepakat untuk menerima kekristenan sebagai bagian dari identitas ketorajaan, maka itu harus dilihat sebagai cara mereka menyerap perubahan yang mereka alami pada masa hidup mereka. Hal yang sama juga perlu kita renungkan: apakah kekristenan masih bermakna memperkuat identitas ketorajaan kita menjadi identitas yang terbuka ataukah makin tertutup? Jika dalam diskursus budaya Toraja terjadi transformasi dalam memahami tongkonan sebagai “rumah bersama” (oikumenis) maka proses itu merupakan upaya memahami budaya Toraja seutuhnya dan melakukan kontekstualisasi pengalaman-pengalaman iman kristiani.

Teks Efesus menyebutkan sejumlah transformasi karena perjumpaan dengan Kristus:

  • Yang “jauh” menjadi “dekat oleh Darah Kristus
  • Tembok pemisah dirubuhkan
  • Dipersatukan oleh Damai Sejahtera
  • Reinterpretasi hukum taurat
  • Manusia baru
  • Menghadirkan damai sejahtera
  • Kedua pihak berjumpa (ayat 18)
  • Menjadi “kawan sewarga”; tidak ada “orang asing”

Kita bisa meyakini bahwa dengan segala kelemahan historisnya kekristenan telah memberikan kesempatan kepada kita untuk menafsir ulang seluruh dimensi kebudayaan Toraja sehingga menjadi kebudayaan yang terbuka bagi perubahan dan menampung perbedaan. Tetapi proses itu tidak terjadi dalam semalam. Pengalaman iman dan sejarah ketorajaan kita terus berjalan dalam dinamika perubahan zaman. Kita juga mesti jeli melihat tanda-tanda zaman. Apakah kekristenan dan ketorajaan kita menjadi sebuah identitas yang terbuka dan transformatif; ataukah hanya menjadi semacam ekstasi teologis demi kepuasan diri dan kelompok kita sendiri?

Efesus memperlihatkan bahwa pengenalan kita kepada Kristus seharusnya membuat kita menjadi sebuah komunitas yang terbuka bagi perubahan; atau istilah Pak Jonathan Parapak: “berselancar di atas ombak perubahan”. Kita tidak takut terhadap perubahan, tetapi mampu menyiasati perubahan dalam strategi dan seni kehidupan.

Jika dianalogikan: pemuda gereja adalah peselancarnya, bukan papan selancarnya. Jadi kita semua bukanlah “alat damai sejahtera Tuhan” melainkan “pelaku damai sejahtera Tuhan”. Alatnya apa? Macam-macam: ormas, organisasi gereja, organisasi politik, LSM, paduan suara, perguruan tinggi, dsb. Dengan kata lain, seluruh bidang kehidupan itu adalah “alat” atau “sarana” kita memberlakukan damai sejahtera Tuhan. Tidak ada wilayah yang kotor atau tabu bagi pelayanan menghadirkan damai sejahtera Tuhan bagi manusia (termasuk politik dan ekonomi).

Pertanyaannya: Sudahkah kita masuk dalam spiritualitas transformatif seperti itu? Ataukah kita masih terus bersibuk ria dengan hal-hal internal yang menguras energi sehingga tidak lagi berdaya “berselancar di atas ombak perubahan” sekarang ini, lalu digulung oleh ombak perubahan itu dan hancur terhempas di batu karang realitas kehidupan?

Kita sering mendengar jargon “pemuda adalah tulang punggung bangsa”. Lalu gereja-gereja kita latah dengan jargon yang sama: “pemuda adalah tulang punggung gereja”. Kenyataannya, itu tetap cuma jargon. Dalam praktiknya, kaum muda dihadapkan pada suatu sistem di mana perannya tetap dipinggirkan dan tak lebih hanya objek pelengkap. Alasannya macam-macam: masih hijau dalam pengalaman, pengetahuan belum matang, dll. Jadi yang bisa memimpin dan mengorganisasi gereja cuma kaum “ortu” saja.

Memang tidak ada salahnya. Tetapi dominasi yang berlebihan kaum ortu ini tentu menimbulkan ketidakseimbangan yang cukup parah dalam dinamika menggereja khususnya di Indonesia. Kenapa demikian? Karena pengelolaan gereja sebagai organisasi sosial membutuhkan kepekaan terhadap munculnya tantangan-tantangan baru yang mesti ditangani dengan metodologi atau cara yang baru pula. Dan tentu itu membutuhkan energi baru dari sumber daya yang masih segar. Jika kebuntuan itu tidak segera ditembus maka kaum muda gereja-gereja kita tak lebih hanya berperan sebagai pelengkap liturgi gereja (vocal group, paduan suara). Itu penting. Tetapi peran kaum muda semestinya harus lebih berbobot dan signifikan daripada hal-hal semacam itu. Dengan kata lain, saya mau mengatakan bahwa ada persoalan internal dan eksternal gereja yang tak dapat dihindari serta mesti dipikirkan dan disikapi oleh pemuda gereja kalau memang kita mau mencapai suatu sasaran yang jelas di masa depan.

Pemuda Gereja Menyikapi Tantangan Zaman

Untuk menjalani proses pematangan diri sebagai kaum muda gereja, maka dalam pemahaman saya, ada beberapa segi wawasan yang mesti menjadi kepekaan kaum muda gereja, yang kemudian bermuara pada terbentuknya karakter kaum muda gereja yang cerdas dan punya komitmen kuat terhadap pergumulan gereja dalam konteksnya.

1. Pemahaman mengenai hakikat Alkitab

Sederhananya, ada dua pemahaman mengenai apa itu Alkitab yang sangat berpengaruh terhadap sikap hidup jemaat. Pertama, pandangan bahwa Alkitab itu adalah wahyu yang disampaikan langsung oleh Tuhan. Karena itu setiap bagian dalam Alkitab tidak boleh diragukan kebenarannya. Alkitab tidak bisa salah (infalibitas). Barangsiapa meragukannya, digolongkan sebagai orang “kafir” yang perlu dilawan atau diselamatkan dari iman yang sesat. Mereka yang berpandangan seperti ini digolongkan sebagai kaum fundamentalis yang sering sangat kaku dalam memaknai pesan-pesan dalam alkitab. Biasanya pandangan seperti ini berlaku dalam jemaat-jemaat kita (sebagai konsekuensi warisan teologi kolonial).

Kedua, pandangan bahwa Alkitab merupakan tulisan-tulisan manusia yang proses pengumpulan, seleksi, penyuntingan (editing), dan pengakuannya (disebut kanonisasi) berlangsung selama berabad-abad hingga mencapai bentuknya yang sekarang. Alkitab merupakan suatu refleksi teologi, sosial, politik dan kebudayaan dari suatu masyarakat yang pernah hidup pada suatu waktu dan tempat tertentu. Sehingga untuk membaca Alkitab kita membutuhkan suatu pengetahuan tersendiri mengenai latar belakang kitab-kitab tersebut. Dengan begitu kita bisa tahu pesan apa yang mau disampaikan oleh penulis kitab, pertama-tama kepada masyarakatnya saat itu, dan kemudian kita hadapkan dengan kenyataan kita di saat ini. Apakah pesan yang sama bisa kita tangkap dan maknai sebagai bagian dari pergumulan kita juga. Dengan cara ini pesan-pesan Alkitab bisa kita maknai secara kritis dan kontekstual. Firman Allah akan ditemukan dalam sejarah manusia, bukan cuma dalam Alkitab. Karena Allah terus berfirman dalam peristiwa-peristiwa sepanjang sejarah pergumulan manusia, baik secara pribadi maupun sosial. Di sini dibutuhkan kepekaan terhadap konteks kita sendiri.

2. Kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial

Gereja berada di dalam dunia dan masyarakatnya, bukan di awan-awan nirwana atau sorga. Selain ditopang oleh berbagai pengalaman rohani jemaatnya, gereja turut pula dibentuk oleh struktur kebudayaan dan struktur sosial masyarakatnya. Jadi gereja tidak bebas nilai, bahkan mesti terus dikritisi. Konteks sosial gereja itu yang sering mempengaruhi kemampuan gereja dalam membaca alkitab dan melihat tindakan Allah dalam sejarah dan pergulatan masyarakatnya. Oleh karena itu, di sini kita membutuhkan kepekaan terhadap pergumulan konteks sosial. Itu penting. Kalau tidak, gereja hanya menjadi ghetto (perkampungan Yahudi) yang tertutup dan “kuper” (kurang pergaulan), “gatek” (gagap teknologi). Secara fisik keberadaan gereja memang diakui, tetapi secara visi, miskin dan kering makna. Untuk itu gereja membutuhkan kaum muda yang cerdas, kritis dan cepat tanggap terhadap berbagai persoalan sosial, politik, budaya, dll. Dari mana harus memulai? Tidak dapat tidak, budaya membaca buku-buku dalam berbagai dimensinya mesti menjadi tradisi dalam kehidupan menggereja kita. Sehingga orientasi kita tidak melulu kuantitas, tetapi juga kualitas pengetahuan kaum muda gereja.

3. Penyiapan pola kepemimpinan gereja yang modern dan dinamis

Kalau proses pencerdasan kaum muda gereja sudah mencapai tahap yang optimal (meskipun pengukurannya relatif) maka paling tidak kita telah mulai membentuk karakter kaum muda yang progresif. Maka selanjutnya kita perlu melakukan review terhadap pola kepemimpinan yang berlaku dalam gereja kita. Apakah masih terpaku pada paradigma kuno yang ketinggalan zaman, atau perlu direkonstruksi sesuai prinsip-prinsip manajemen dan kepemimpinan modern yang dinamis serta mengutamakan mutu dalam pelayanannya. Kita merumuskan suatu analisis yang tajam terhadap dinamika sosial kemasyarakatan dan berani menawarkan gagasan pembaruan kepada masyarakat kita. Hanya dengan cara itu, gereja diperhitungkan dalam seluruh proses pengambilan keputusan di republik ini. Kalau tidak, kita hanya jadi minoritas yang mandul.

4. Tersedianya forum diskusi pemuda gereja yang kritis dalam pemikiran

Untuk melaksanakan itu semua tentu kita membutuhkan suatu forum diskusi yang kapabel, kritis serta terorganisasi rapi. Yang saya maksud, bukan hanya momen-momen diskusi seperti ini saja, tetapi suatu wadah resmi di mana pemikiran-pemikiran serius mengenai teologi dan masa depan gereja serta masyarakat berlangsung dengan melibatkan kelompok internal maupun eksternal gereja. Jika perlu, gagasan-gagasan tersebut diartikulasikan dan dipublikasikan secara luas kepada umum. Dengan melakukan itu, masyarakat kita juga diajak untuk menyadari bahwa gereja-gereja kita bukan lagi “agama kolonial” yang sebaiknya dibom saja karena hidup dalam “menara gading”, tetapi mereka melihat bahwa gereja sudah menjadi bagian dari pergumulan, penderitaan, tekanan ekonomi, depresi, yang mereka rasakan.

5. Membangun komunikasi pemuda lintas organisasi gerejawi dan lintas agama

Kalau anda melihat kembali keempat hal di atas, anda akan melihat bahwa gereja yang kita bicarakan bukan lagi milik jemaat kristen, tapi milik masyarakat. Sebagai bagian integral dari masyarakatnya, gereja dituntut membangun komunikasi pro-aktif dengan semua elemen kemasyarakatan. Karena konteks kita adalah pemuda, maka pemuda gereja mesti membangun komunikasi kritis dengan berbagai organisasi kepemudaan, khususnya teman-teman pemuda dari agama lain. Kita harus mengakui bahwa secara kualitatif kita telah tertinggal jauh dari teman-teman pemuda Islam. Dalam amatan saya, teman-teman Islam telah berhasil menemukan core pemikiran-pemikiran progresif khas Islami. Bila dinamika berjalan kontinyu, bukan tidak mungkin konstruksi ideologi dan struktur kenegaraan Indonesia di masa depan akan sangat dipengaruhi oleh kelompok-kelompok muda Islam yang progresif dan cerdas ini. Sementara kita, masih ribut dengan urusan kita sendiri yang tak kunjung usai. Saya khawatir jika kita menyadari hal ini dan menyikapinya secara serius, kita hanya akan dianggap parasit yang hanya bisa hidup menumpang tetapi tidak produktif.

Tema Natal 2006 ini memang sedang menantang kita untuk memaknai natal dalam perspektif yang lebih realistis. Kita tidak lagi hanya sebatas berkisah tentang kelahiran bayi Yesus yang sudah terjadi dulu, tetapi kita mengarahkan hidup kita sebagai manifestasi kehadiran Tuhan dalam kekinian dan masa depan bersama. Kita ditantang untuk menjadi persekutuan yang transformatif karena hakikat kehadiran Allah dalam karya dan hidup Kristus juga adalah suatu spiritualitas transformatif (mentolinomo Puang Matua ilan Puang Yesu). Jika kepercayaan kita kepada Kristus ternyata tidak membawa perubahan dalam diri kita maupun masyarakat kita, jangan-jangan kita salah percaya Yesus.

Saya ingin mengutip perkatan bijak dari Tana Toraja yang sebenarnya mengandung makna persekutuan yang sangat dalam: Kita raka la losong na lise ‘na bo’bo’ yang artinya “kita tidak lebih banyak dari butiran nasi”. Ungkapan itu sebenarnya merupakan ungkapan iman orang Toraja bahwa hidup ini adalah sebuah anugerah yang mesti dibagi dengan orang lain, sehingga kita tidak perlu takut akan kekurangan dan pesimis menghadapi hidup dalam rekatan persekutuan beriman.

Bukankah itu pula makna natal sebagai cara Allah berbagi kasihNya dalam derita dan hidup manusia? Oleh karena itu Natal 2006 semestinya menjadi sebuah refleksi kehidupan yang mengajak kita pertama-tama memaknai identitas kita bukan sebagai tempurung yang menghalangi visi hidup kita, tetapi sebagai suryakanta yang makin memperjelas siapa kita dan apa orientasi visioner hidup kita. Di situlah kita bisa belajar dari Sophie Amundsen, si tokoh novel Jostein Gaarder.



* Materi ini awalnya merupakan refleksi Natal Pemuda Gereja Toraja, 10 Desember 2006 di Gereja Toraja Depok. Yang memilih tema: Dialah Damai Sejahtera Yang Telah mempersatukan (Ef. 2:14) dan subtema: Jadikan Aku Alat Damai Sejahtera-Mu (Yoh. 14:27).

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces