Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, December 11, 2007

Diskusi 4 - Kenapa Harus "Takut Akan Tuhan"?

Diskusi ini berawal dari pahatan teks Alkitab di tembok kampus UKSW. Terima kasih kepada bapak Wasi yang sudah “menjewer” kita yang muda-muda ini untuk siuman kembali terhadap suatu teks yang mungkin selama ini kerap kita baca [dan mungkin hafal] tapi lalai untuk membumikannya dalam sebuah wujud spiritualitas akademik yang bernas.

Menurut saya, ke-ngalor-ngidul-an yang dikhawatirkan jika wacana ini diperbincangkan adalah suatu kecemasan yang tergesa-gesa. Demikian pula dengan prapaham bahwa diskusi ini akan menjadi sebuah “jalan tak berujung” adalah sebentuk a priori yang [rasanya] tak perlu dirasa begitu. Bukankah hidup ini sendiri adalah sebuah “percakapan tak berujung” dengan banyak hal yang [mungkin] hanya berjeda dalam kematian? [Kendati tak seorang pun tahu apakah di balik kematian itu kita masih berdialog dengan Sang Tuhan yang tak terdefinisikan oleh lingkup-lingkup rasionalitas kemanusiaan]. Simpulannya: mari kita terus bercakap-cakap dalam terang pencerahan rasionalitas yang gelisah mencari sepenggal “Kebenaran”.

Karena pak Wasi mulai dari pahatan di tembok Satya Wacana, saya juga ingin memulai dari situ. Bukan dari temboknya atau pahatannya, tetapi dari teksnya sebagai sebentuk simbolisasi yang hanya bermakna dalam tradisi [intelektual] yang sudah, sedang dan terus dibangun dalam praksis ber-UKSW.

Kalau saya tidak salah, ungkapan itu dikutip dari Amsal 1:7. Amsal adalah bagian dari sekumpulan kitab yang dijilid dalam bundel Perjanjian Lama. Saya kira, kita jangan cepat-cepat melompat untuk meng-”yesus”-kan kata TUHAN yang ada di situ. Kata Gaston Bachelaard, nanti kita bisa mengalami “keretakan epistemologis”.

Setiap kitab mempunyai konteks dan tradisi penulisannya sendiri. Karena itulah, kekristenan tidak mengenal istilah “Firman Tuhan yang turun dari langit” sebagaimana yang dihayati oleh saudara-saudari Muslim atas kitab suci Al-Quran. Tetapi Firman Tuhan yang berproses dalam kesejarahan manusia dan dunia. Alkitab bukan Firman Tuhan, tetapi mengandung Firman Tuhan. Artinya, Firman Tuhan itu tidak termanifestasi dalam “kata-kata” Sang Tuhan [apa benar Tuhan hanya bisa bahasa Arab, bahasa Ibrani atau Yunani?], tetapi dalam “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” [perang, kemiskinan, pemerkosaan, perselingkuhan kekuasaan, dsb]. Dalam hermeneutika sosial, seperti yang dilakukan oleh Ricoeur, “pengalaman-pengalaman manusia” adalah transposisi tekstual menjadi diskursus [wacana?]. Ricoeur melihat bahwa kalau kita ingin memahami suatu teks maka kita mesti “membaca”-nya dalam satu keutuhan sistem linguistik dan tanda-tanda bahasa. “Membaca” bagi Ricoeur adalah sebuah cara menafsir (hermeneutik). Karena itulah Ricoeur melihat bahwa realitas pengalaman manusia sebenarnya adalah sebuah diskursus yang menyembunyikan makna tertentu dan oleh karena itu perlu ditafsir. Dalam kerangka itu, alkitab hanyalah sebuah media menampilkan pengalaman manusia yang [sempat] ditulis dalam berbagai bentuk literer, yang kemudian [mestinya] ditafsir agar terkuak apa maknanya [bagi siapa saja yang membacanya].

Amsal adalah kumpulan ungkapan bijak bestari yang didesas-desuskan dalam suatu konteks masyarakat tertentu. “Dia” tidak bisa dimengerti jika dilepaskan dari akar konteksnya. Karena saya bukan “orang Ibrani” saya harus tahu dulu bagaimana sih asal muasal dan penggunaan amsal ini dalam konteks masyarakat ibrani. Asas itu saya kira tidak beda jauh dari kerangka metodologi keilmuan sekarang ini: petakan dulu konteksnya, tentukan akar masalahnya, cermati implikasinya dsb. Sama juga dengan kebingungan saya kenapa kata “by the way” kok bisa jadi “ngomong-ngomong” dalam pembahasaan indonesianya. Atau bagaimana mesti memahami “mangan ora mangan ngumpul” dalam logika kultural kejawaan. Atau kenapa orang Papua [laki-laki] hanya memakai koteka untuk menutupi “burung”nya [lalu yang perempuan?], jika alasannya hanya takut digigit nyamuk, padahal seluruh bagian tubuh lain terbuka lebar untuk dilahap si nyamuk.

Kata “takut” dalam kajian psikologi agama sebenarnya adalah asal-muasal religiositas itu sendiri. Mau diterjemahkan sebagai “hormat” atau “segan”, intinya ya karena manusia merasa takut terhadap “sesuatu” yang tidak mampu dikendalikannya [misal: kekuatan alam]. Upaya mengendalikan “rasa takut” inilah yang melahirkan temuan-temuan teknis agar hidup tidak lagi terpenjara dalam keterbatasan diri. Termasuk kemudian bagaimana cara mengendalikan “tuhan” yang [katanya] ada di balik kekuatan-kekuatan alam. Pengendalian itu [dianggap] berhasil ketika apa yang terjadi ternyata bisa dijelaskan dalam korelasi dengan sang tuhan itu. Inilah yang dialami Max Weber ketika mengatakan bahwa “kekristenan adalah agama yang rasional”. Artinya, orang kristen bisa menjelaskan kenapa begini-begitu atau harus buat ini-itu dalam korelasi dengan sang tuhan yang semula ditakuti itu.

Weber adalah seorang keturunan yahudi. Dia mengenal tradisi religius nenek moyangnya. Apa yang khas dari Yudaisme ialah keberanian mereka untuk memunculkan konsep “perjanjian” antara “Yahweh” dan manusia. Yahweh ini sebuah nama yang tak jelas. Penamaan ini hanyalah menunjuk pada superioritas tuhan israel dalam pantheon dewa-dewa bangsa-bangsa sekitar (Amon, Kanaan, dsb). Tuhan Israel dipercaya [oleh orang Israel] lebih unggul atas dewa-dewa lain. Jadi secara implisit eksistensi dewa-dewa lain dipercaya, hanya jabatannya di bawah Yahweh. [Katanya sih, superioritas Yahweh itu hanya bikinan orang Israel yang terserang demam sindrom minoritas dan cognitive dissonance pecundang.] Keunikan si Yahweh ini hanya pada kemauannya untuk “berdialog” dengan manusia. Ini konsep religius yang tak lazim karena jarang dipraktikkan oleh bangsa-bangsa non-Israel. Lantas lahirlah konsep “perjanjian”. Sederhananya, manusia bisa kok berdialog bahkan bernegosiasi dengan si Yahweh itu. Lihat saja bagaimana Abraham bernegosiasi dengan Tuhan soal keputusan Tuhan untuk membumihanguskan Sodom dan Gomora.

Itu kalau kita mau lihat kasusnya Israel alkitab. Fenomena religiositas sejenis juga terjadi dalam berbagai masyarakat dan kebudayaan, seperti nampak dalam berbagai kajian fenomenologi agama oleh Mircea Eliade. Atau juga banyak kajian antropologis agama. Semua kajian itu sebenarnya membuka perspektif kita untuk melihat bahwa apa yang disebut “kebenaran” agama pada hakikatnya adalah quasi-kebenaran. Kemeriahan “kebenaran” yang dipamerkan agama-agama baiknya dilihat sebagai wujud kekuataan tafsir manusia yang terekspresi dalam simbol-simbol kultural, termasuk bahasa. Karena itu saya sih setuju-setuju aja dengan tesis John Hick (lihat “God Has Many Names”) bahwa penamaan realitas ultima itu sebenarnya hanyalah suatu penamaan budaya. “Tuhan” adalah hasil konstruksi sosial manusia. Itu juga yang digarap Max Dimont dalam bukunya [yang kemudian dilarang beredar di Indonesia beberapa tahun lalu] “Desain Yahudi atau Kehendak Tuhan”.

Kesimpulan:

  • Ilmu pengetahuan itu lahir dari ketakutan manusia pada realitas yang melampaui dirinya.
  • Ketakutan itu mendorong manusia untuk mencari cara mengendalikan kekuatan itu.
  • Cara mengendalikan itu semakin tersistematisasi ke dalam kerangka epistemologi dan aplikasinya yang makin valid.
  • Dari situ terbentuk genealogi pengetahuan. Karena itulah Francis Bacon menggelari temuannya dalam rumusan “knowledge is power”; atau Michel Foucault yang mendekonstruksi pengetahuan sebagai “metode untuk memenuhi hasrat berkuasa”.

Dalam konteks pahatan di dinding kampus saya melihatnya sebagai nasihat agar jangan takut untuk “menjadi takut” kepada apapun atau siapapun, termasuk Tuhan. Karena ketakutan kepada yang “paling ditakuti” [Tuhan] justru akan melahirkan sikap berani untuk menghadapi apa yang “tidak ditakuti” [realitas hidup]. Jadi, orang yang “takut Tuhan” justru adalah orang yang tidak boleh berdiam diri atau berhenti berpikir, melainkan mestinya terus bereksperimen dengan imannya agar tidak “cengeng” dan bisanya minta “permen” terus dari Tuhan. Orang yang takut Tuhan adalah orang yang berusaha tidak tergantung sepenuhnya pada Tuhan tapi berusaha bernegosiasi dengan Tuhan. Berdialog dengan Tuhan bukan dalam relasi tuan-hamba, tapi “sahabat” (kayaknya Yesus pernah bilang begitu tapi lupa di injil mana). Konsekuensi “perjanjian” atau “persahabatan” adalah kedua belah pihak harus dalam posisi setara, baru bisa terjadi percakapan. Kekristenan Barat [mungkin] lupa itu sehingga lebih suka conversion daripada conversation dengan budaya-budaya yang belum di”Barat”kan.

Jadi “Satya Wacana”, menurut saya, tidak bisa disempitkan menjadi [hanya] kesetiaan pada “alkitab”, karena Firman Tuhan itu tidak terpasung dalam “alkitab”. Mestinya kita “satya” pada “pengalaman-pengalaman kemanusiaan” atau dalam bahasa Whitehead “occasion of experience”, yang mesti terus menjadi diskursus keilmuan dan keimanan kita [kristen, islam, dll]. Pengalaman manusia itu bukan jargon tapi realitas. Teks yang sesungguhnya itu adalah konteks. Apakah UKSW sudah sungguh-sungguh mengkontekstualisasikan ke-“satya wacana”-annya?

3 comments:

  1. Yahweh ini sebuah nama yang tak jelas

    terlepas dari mana asal-usulnya, yang jelas, nama itu tertulis dalam Kitab Suci,
    dan menurut Yesaya 42:8, Yahweh itulah nama Tuhan.

    Silakan baca tulisan singkat:
    Siapakah Tuhan yang Anda sembah?" ( http://gkmin.net/?p=52 )

    ReplyDelete
  2. Trims GK... untuk komentarnya. Kekalutan dalam interpretasi alkitabiah memang di situ soalnya: kita selalu bersikap "terlepas dari mana asal-usulnya". Seolah-olah Sang Tuhan bekerja di luar ruang dan waktu (ahistoris). Kalau "tertulis dalam Kitab Suci" memang jelas [tertulis]. Tetapi yang "tertulis" itu kan tidak selalu jelas [maknanya, sejarahnya] kan?

    ReplyDelete
  3. FYI,
    Buku Dimont satunya lagi (The Indestructible Jews) juga sudah diterjemahkan dan diterbitkan dgn judul: Dilema Yahudi, atau Suratan Nasib? Drama Eksistensialis Dalam 4.000 Tahun Sejarah Dunia.

    Bisa diperoleh di Gramedia P.I.M.

    ReplyDelete

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces