Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, December 11, 2007

Diskusi 3 - Lagi Tentang Creative Minority

Catatan ringkas berikut ini merupakan tanggapan terhadap beberapa pendapat beberapa rekan mengenai topik "Meruntuhkan Mitos Creative Minority". Terima kasih untuk tanggapan dan penjelasannya yang insightful.

Sebenarnya saya hanya mengajukan presuposisi saya berdasarkan perspektif saya tentang interpretasi wacana creative minority. Saya tidak bermaksud menjelaskan karena konsep itu sudah dicetuskan dan dijelaskan oleh Arnold J. Toynbee dalam magnum opus-nya A Study of History. Terima kasih rekan Theo Litaay yang sudah membantu menjernihkan sedikit tentang creative minority dari sang empunya.

Rekan Eka mengatakan ”sepertinya anda salah memahami apa yang dimaksud dengan creative minority”. Memang apa yang saya deskripsikan “panjang lebar” itu adalah presuposisi interpretatif saya terhadap diskursus creative minority. Jika ada yang melihatnya dari perspektif yang berbeda, silahkan. Tetapi bukan berarti saya harus menilainya sebagai “salah memahami” kan?! Tentu saja, perspektif teman-teman sama sekali “tidak melenceng” karena melihatnya dari angle yang berbeda. Bagi saya, perspektif rekan Eka malah makin menjernihkan sudut-sudut yang masih gelap dalam perspektif saya tentang creative minority.

Sebagai diskursus, saya agak ragu bisakah kita memahami creative minority dalam sebuah ranah epistemik yang terisolasi [entah dari konteksnya, entah dari bias interpretatifnya]? Maksudnya, pendasaran logis apa yang membuat creative minority dikatakan ”tidak ada hubungan dengan mayoritas atau minoritas agama, suku, ras, dll”? Apalagi dikapling dalam ”konteks pembicaraan kita”?

Mari kita lihat sejenak apa yang dikatakan Arnold J. Toynbee dalam A Study of History:

{p. 26} When we are confronted with something that we do not understand, we try to make it intelligible to ourselves by tracing a connexion between it and something else that we believe we understand better. Explanation is essentially an act or process of reference.

One step towards explaining a phenomenon is to find its context. 'Research into meaning cannot be free from synthesis, for only by putting anything into a wider context can its meaning be seen.' A fact cannot be established or made intelligible unless it is related to other facts or is part of a larger system.

Toynbee melihat bahwa peradaban dapat dibangun dan berdaya tahan lama ketika tersedia creative minority yang mampu melahirkan ide-ide dan metode-metode untuk menghadapi tantangan-tantangan dalam suatu masyarakat. Ide-ide dan tantangan-tantangan itu kemudian dijiplak oleh mayoritas. Artinya, creative minority itu mampu mengonstruksi suatu mode of thought (gaya bernalar) and mode of ought (etika).

Nah, creative minority itu bukan malaikat, bukan? Creative minority itu kan juga manusia yang struktur penalarannya sangat dipengaruhi oleh konstruksi sosial-budaya masyarakatnya. Demikian pula dengan etika sebagai seperangkat nilai yang dilihat sebagai ”baik”, ”bermoral”, ”bermanfaat” dsb. Artinya, merujuk pada statement Toynbee di atas, penjelasan suatu fenomena harus dilihat dalam konteksnya.

Saya bukan Toynbeean. Saya tidak tahu apakah Dr Noto adalah Toynbeean atau hanya sekadar memanfaatkan istilah Toynbee itu karena dianggap sesuai dengan visi/misinya dan semangat zamannya. Saya hanya ingin melihat creative minority sebagai sebuah diskursus yang mesti dipahami dalam lalu-lintas diskursus keindonesiaan yang sarat dan padat dengan multi-interpretasi. Saya ragu apakah memang Toynbee sendiri tidak melihatnya dalam sebuah jejaring makna dengan bidang-bidang kehidupan lain.

Mari kita lihat sejenak lagi apa katanya:

A disintegrating civilization was apt to enter into intimate relations with one or more other representatives of its species; and these encounters between civilizations gave birth to societies of another species: higher religions. At the beginning of the inquiry I had tried to explain the higher religions, like the national and other varieties of parochial states, in terms of civilizations. The last stage of my survey of the history of civilizations convinced me that this way of looking at the higher religions did not, after all, give anything like an adequate explanation of them.

Bukankah sesuatu yang unik ketika Toynbee mengatakan bahwa perjumpaan peradaban-peradaban ternyata melahirkan “spesies” baru dalam masyarakat yaitu “agama-agama tertinggi” yang sudah pasti bukan agama seperti yang kita pahami (Kristen, Islam, Budha, dsb). Nah di situlah persoalan saya dengan Toynbee karena dia hanya memahami jatuh-bangunnya peradaban dalam sebuah perspektif yang sangat Barat dan sangat individual. Mari kita lihat lagi apa katanya:

Civilizations arise not because of genetically superior individuals (there are none) or because of favorable geographical environment, but because of a creative response by a minority of individuals to a situation of special difficulty.

Edward Said dalam bukunya Orientalism mencoba untuk mendekonstruksi civilization yang konotasinya sangat dipengaruhi oleh ”cara pandang” Barat terhadap ”non-Western” yang kemudian dalam sejarah ternyata membentuk identitas ”kita” yang bukan Barat dalam posisi diametral dengan identitas Barat. Kita melihat Barat sebagai “individu” tetapi Barat melihat kita hanya sebagai “kerumunan tanpa identitas” (crowd). Pendekatan Said ini yang kemudian dikembangkan oleh Gayatri Spivak dengan interpretasi post-colonial. Tujuannya adalah untuk mendekonstruksi proyek-proyek rasionalisasi Barat (sosiologi, antropologi, sejarah, sastra dll) yang hanya berujung pada pelestarian hegemoni Barat atas non-Barat.

”Sejarah” ala Toynbee itu juga yang dikritik oleh Chr. Dawson sebagai yang tidak bebas nilai dan jika tidak hati-hati malah kecemplung dalam lubang hegemoni. Demikian Dawson,

There is as yet no history of humanity, since humanity is not an organised society with a common tradition or a common social consciousness. All the attempts that have hitherto been made to write a world history have been in fact attempts to interpret one tradition in terms of another, attempts to extend the intellectual hegemony of a dominant culture by subordinating to it all the events of other cultures that come within the observer's range of vision. (Chr. Dawson, The Dynamics of World History, p. 273)

Kembali kepada creative minority. Saya percaya bahwa ketika Toynbee bicara soal creative minority dia tidak bicara dalam sebuah “ruang hampa” tapi dalam sebuah konteks sosial masyarakat tertentu. Dalam hal itu Toynbee pun tak bisa mengelak bahwa apa yang dia sebut peradaban itu (apalagi peradaban Barat) tidak bisa dilepaskan dari intervensi agama-agama. Karena apa? Karena agama-agama mampu memberikan kekuatan legitimasi moral yang sangat dibutuhkan agar sebuah peradaban mampu bertahan lama. Seperti yang diyakini oleh Peter Beger dan Thomas Luckman bahwa religion is an effective agency of legitimation because it creates an ordered and total world in which all experience has a meaningful place (Nicholaus Abercombe, Class, Structure and Knowledge: Problems in the Sociology of Knowledge, 1980, hlm. 156).

Craig R. Prentiss (ed.), Religion and the Creation of Race and Ethnicity (2003) menyajikan 14 artikel tentang pertautan agama dan etnisitas yang melahirkan kesadaran identitas, nasionalisme, resistensi, konflik sosial, dsb:

  1. “A Servant of Servants Shall He Be”: The Construction of Race in American Religious Mythologies – Paul Harvey
  2. Myth and African American Self-Identity – Eddie S. Glaude, Jr.
  3. Almost White: The Ambivalent Promise of Christian Missions among the Cherokees – Joel Martin
  4. Indigenous Identity and Story: The Telling of Our Part in the Sacred Homeland – Nimachia Hernandez
  5. Jew and Judaist, Ethnic and Religious: How They Mix in America – Jacob Neusner
  6. Blackness in the Nation of Islam – Aminah Beverly McCloud
  7. Theologizing Race: The Construction of “Christian Identity” – Douglas E. Cowan
  8. Loathsome unto Thy People: The Latter-day Saints and Racial Categorization – Craig R. Prentiss
  9. Our Lady of Guadalupe: The Heart of Mexican Identity – Roberto S. Goizueta
  10. Myths, Shinto, and Matsuri in the Shaping of Japanese Cultural Identity – John K. Nelson
  11. Islam, Arabs, and Ethnicity – Azzam Tamimi
  12. Cosmic Men and Fluid Exchange: Myths of Arya, Varna, and Jati in the Hindu Tradition – Laurie L. Patton
  13. Religious Myth and the Construction of Shona Identity – Chirevo V. Kwenda
  14. Sacral Ruins in Bosnia-Herzegovina: Mapping Ethnoreligius Nationalism – Michael A. Sells

Di Indonesia, kita bisa menemukan proyek intelektual “membangun peradaban” dalam karya-karya Nucholish Madjid (alm.) yang hendak menempatkan Islam sebagai fondasi sivilisasi Indonesia (masyarakat madani). Cak Nur sangat terpengaruh dengan gagasan “civil religion” di Amerika Serikat yang dikembangkan oleh Robert Bellah berdasarkan analisisnya terhadap agama Tokugawa di Jepang yang ternyata menjadi pendorong utama kemajuan masyarakat Jepang [jelas di sini creative minority tak dapat dilepaskan tautannya dari nilai-nilai agama dan etnisitas].

Saya sengaja menulis judul-judul ke-14 artikel itu hanya untuk menawarkan betapa perspektif kita tentang peradaban dan lahirnya creative minority tidak bisa dilepaskan dari kompleksitas diskursus yang mengitari dan melilitnya. Saya tidak tahu apakah menurut teman-teman judul-judul artikel di atas bisa dianggap merefleksikan diskursus peradaban atau tidak. Saya hanya ingin menempatkan creative minority sebagai sebuah diskursus kontekstual di Indonesia. Bahwa itu dilahirkan oleh Toynbee, okelah... Tapi ketika ”dia” dibaca dan dialami oleh orang lain, ”dia” tidak lagi menjadi milik Toynbee sehingga kita harus menempatkannya dalam struktur penalaran manusia Indonesia dengan pengalaman-pengalamannya yang khas.

Saya setuju dengan rekan Neil bahwa kita harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam perangkap ideologisasi ”mayoritas-minoritas” yang sempit, serta ”perlu merujuk kembali kepada kira-kira apa yang sebetulnya ingin dikatakan dengan pemilihan konsep ini”.

Jika rekan Neil melihat bahwa ”konsep creative minority yang dirujuk pak Noto dari Toynbee tampaknya lebih menekankan peran kepemimpinan”, saya kira itu akan menjadi lebih menarik dan kontekstual dalam bidang pendidikan.

Itu pula yang sebenarnya saya maksudkan dalam paragraf

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Melahirkan seorang pemimpin tidaklah ekuivalen dengan mencetak teknokrat atau spesialis ilmu pengetahuan. Sebagaimana kritik filsuf Spanyol Jose’ Ortega Y. Gasset (1883-1955) yang pada tahun 1930 menyimpulkannya dalam “The Revolt of the Masses” bahwa peradaban diruntuhkan oleh “the masses and creative minorities”.

Ortega menulis: The prototype of the mass man is the technocrat or the specialist, the person who knows very well a small corner of the universe, but who is ignorant of the rest. The creative minority is a man of dynamic excellence. This man is a hero in that he exerts his will in service to values and goals that are larger than himself; he lives the noble, rather than the common life, in that he lives it as a discipline for which he constantly trains.

Kalau rekan Eka berpendapat bahwa “Cita-citanya UKSW diharapkan menghasilkan orang-orang yang kreatif, yang berbeda dengan sarjana pada umumnya, orang-orang yang jumlahnya sedikit, tetapi memberi warna pada dunia”. Di mana perbedaannya? Dari sudut ilmu pengetahuan? UKSW tidak menyajikan genre ilmu pengetahuan yang baru. Dari sudut penelitian? Mungkin. Tapi tema-tema penelitian toh tidak berbeda dalam kerangka teoretiknya dengan universitas2 lain (daftar pertanyaan bisa diperpanjang).

Dalam pandangan saya, UKSW harus berbeda dari caranya memahami konteks keindonesiaan yang multikultural ini sehingga karakter intelektual yang dibentuk di dalamnya tidak hanya melahirkan teknokrat dan spesialis untuk memenuhi tren dunia kerja kontemporer (meski itu bukan tak penting), tetapi dari UKSW lahir intelektual-intelektual yang memiliki karakter ”Indonesia”: artinya, tidak terperangkap dalam arogansi ”kebarat-baratan” yang ”sok tahu” tapi sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang ”Indonesia”. Ujung-ujungnya, kita malah menciptakan hegemoni baru. Para intelektual UKSW mestinya berbeda karena memiliki kompetensi untuk membangun ”strategi kebudayaan” (pinjam istilah Van Peursen, Strategi Kebudayaan). Tapi bagaimana bisa membangun strategi kebudayaan jika kita sendiri tidak mengenal karakteristik masyarakat kita dan mengalami kehidupan multikultural (agama, etnis, bahasa, dsb) sebagai bagian dari praksis pengalaman komunitas ”kampus”?

”Menuju Kampus Populis” hanyalah gagasan eksperimental berdasarkan pengalaman ber-UKSW dan ber-Salatiga yang sangat singkat. Dan itu adalah refleksi intelektual dan spiritual saya yang sebenarnya juga dicerahi oleh Berger dan Luckmann yang believe that one of the main weakness of analyses in the sociology of knowledge, besides their determinism, is their concentration on theoretical thought or, worse, on the written ideas of intellectuals…Within knowledge defined in this way, theoretical speculation plays only a minor role. What is of much greater importance is the knowledge appropriate to the conduct of everyday life and, following Schutz, Berger and Luckmann believe that the reality of everyday life is the paramount reality. (Abercombe, hlm. 146).

Begitulah!

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces