Aku menulis maka aku belajar

Tuesday, December 11, 2007

Diskusi 2 - Meruntuhkan Mitos Creative Minority

Hal pertama yang saya rasa sangat mengusik karena kerap muncul, bahkan seolah menjadi mitos ialah konsep “creative minority”. Indonesia ini kan rumah kita bersama to? Ataukah masih ada yang merasa “ngontrak” atau “indekos” di Indonesia? [Istilah “ngontrak” di sini beda maknanya dengan social contract-nya mbah Rosseau]. Kalau rasa “teralienasi” itu masih ada, saya rasa di situlah pekerjaan rumah kita untuk terus menyampaikan pesan kepada masyarakat bahwa negara-bangsa ini lahir karena tuntutan proyek nasionalisme bersama lintas golongan [etnis, agama, kebudayaan, aliran politik dll]. [nah, saya rasa kontrak sosialnya Rosseau bisa dipakai dalam proyek ini] Ya karena itulah namanya “Indonesia”, bukan Republik Islam karena Islam [anggap diri] mayoritas atau Republik Jawa [karena etnis Jawa anggap diri lebih banyak jumlahnya]. Namanya “Indonesia” supaya saya yang berkulit sawo matang dan rambut keriting tetap bisa ngobrol bahkan berdebat tegang dalam kesetaraan dengan teman-teman berkulit kuning dan rambut lurus. [nb: tesis itu saya pinjam dari Prof. John Titaley]. Dan obrolan kita bukan siapa yang lebih banyak atau lebih jago tapi tentang kemungkinan-kemungkinan agar hidup bersama yang kental dengan potensi konflik ini bisa dijalani sebagai konsensus budaya.

Julukan “Indonesia Mini” kepada UKSW bukanlah sebuah jargon atau faktor kebetulan, tetapi sebuah metodologi praksis untuk menciptakan sebentuk kesadaran multikultural di kalangan para intelektual yang ditempa di UKSW. Perjumpaan kultural generasi kampus inilah yang nantinya diharapkan membentuk karakteristik kepemimpinan dan intelektual yang sadar budaya dan jauh dari kesan “culun” seperti “katak yang malas keluar dari tempurung”. Dalam konteks itu, UKSW adalah sebuah laboratorium sosial-budaya. Kita semua sedang bereksperimen dengan kemajemukan sosial masyarakat Indonesia. Namanya juga “laboratorium”, kita menguji segala sesuatu di dalamnya dan tidak semua eksperimen itu berhasil, bukan? Pasti kita akan menjumpai kegagalan-kegagalan, yang justru makin membuat kita mengenal dimana letak kesalahan kita dan artikulasi formula seperti apa yang mesti tetap dipertahankan dalam serangkaian interaksi sosial yang diuji itu.

Nah, di situlah saya melihat bahwa proses mengejawantahkan ideal-ideal itu tidak mesti terjadi dalam bentuk-bentuk formal [penerbitan buku, diskusi, dll], melainkan bisa saja mewujud dalam interaksi alamiah. Komunitas “askarseba” saya kira bisa menjadi refleksi “benturan peradaban” yang tidak harus menuju konflik tetapi malah melahirkan kreativitas menyiasati hidup bersama dalam perbedaan. Di situlah, saya mencoba berjarak kritis dengan Mpu Samuel Huntington dan mungkin juga Francis Fukuyama yang nampaknya cenderung mengintip fenomena Asia dan Indonesia dalam “kaca pembesar” Amerikanisme. Dengan “kaca pembesar” itu memang nampak semua yang kecil-kecil di Asia atau Indonesia, tetapi dalam beberapa konseptualisasi mereka lupa bahwa “Ini bukan Amerika, bung!”

Saya tidak merasa nyaman dengan “creative minority” karena saya curiga jangan-jangan konseptualisasinya sebenarnya sudah terserang “sindrom kompleks minoritas” yang malah melumpuhkan kreativitas kita sehingga kita malah jadi salah kaprah dalam banyak kiprah.

Saya sekarang [masih] Kristen Protestan dan dilahirkan dalam kultur Ambon. Apakah itu tanda bahwa saya adalah “minoritas” [entah ukurannya kualitatif atau kuantitatif]? Setidaknya, di kampung saya di Ambon saya masih punya keluarga besar yang menerima saya bukan sebagai “alien”. Dan di kampus pun saya merasa tidak harus berdialek Ambon dan enjoy dengan slank Salatiga. Demikian pula dengan teman2 lain yang dengan enteng ber-“beta”-ria “sonde” dengan aksentuasi daerah mereka yang menimbulkan efek bunyi yang menggelikan di telinga. Tetapi itulah Indonesia kita, kan?

Dalam konteks keagamaan, apakah tepat mengatakan Islam adalah agama mayoritas. Secara umum mungkin ya. Tapi kenyataannya, seorang teman NU sendiri mengakui betapa kuatnya fragmentasi karena banyaknya faksi dalam Islam Indonesia. Misalnya, kelompok Ahmadiyah tetap merasa “teralienasi” dalam arus utama keislaman Indonesia [yang lebih banyak ditentukan oleh tradisi-tradisi besar seperti NU dan Muhammadiyah].

Jadi menurut saya soalnya adalah bagaimana kita mengelola “otherness” kita bukan sebagai upaya pengerucutan kategorial “minoritas” atau “mayoritas”.

Itulah pula sebenarnya yang saya alami sebagai eksperimentasi UKSW untuk mengejawantahkan idealisme keindonesiaan dan ideal-ideal lainnya dalam konteks yang lebih konkrit. Saya kira UKSW serius dengan itu karena pengalaman saya studi di UKSW baru pertama kali saya temukan genre ilmu pengetahuan seperti “Sosiologi Menurut Indonesia” yang sekarang menjadi “Sosiologi Indonesia”. Saya percaya karakteristik sejenis juga bisa ditemukan di fakultas-fakultas lainnya di UKSW.

Sebenarnya itu yang saya maksud dengan pertanyaan “menuju kampus populis”. Itu sebuah pertanyaan retoris yang hendak menggugat kembali apa yang pernah menjadi praksis UKSW [sekarang pun masih hanya tampil dalam performa dan intensitas yang berbeda].

Konsientisasi saya kira berlangsung pada semua aras pendidikan [yang mungkin maknanya mesti lebih luas dari sekadar “mengajar”]. Jika kehadiran UKSW sudah “disadari” sebagai bagian dari dinamika sosial masyarakat Salatiga [yang masih wilayah Indonesia] itu saja sudah merupakan revolusi paradigma pendidikan tinggi Indonesia, menurut saya. Maksudnya, janganlah kita terjebak untuk mengukur yang “nasional” itu selalu harus “made in Jakarta”. Dampak positif kehadiran UKSW [performa, kontribusi iptek, dll] DI SALATIGA, bagi saya itu sudah sebuah prestasi nasional. Hanya banyak orang yang memang enggan belajar dari “yang kecil”. Padahal dari peristiwa biasa “apel jatuh” oleh seorang Newton bisa melahirkan teori gravitasi yang menginspirasi manusia untuk mengatasinya agar bisa menyentuh “big apple” [maksudnya: bulan].

Catatan untuk rekan Neil Rupidara, saya kira artikulasi “grassroot” dan “academic role” mungkin sebaiknya tidak dilihat sebagai aral tapi misi humaniora ilmu pengetahuan. Muhammad Yunus peraih Nobel yang lalu membuktikan bahwa konsep perbankan populis bisa menjadi teladan bahwa misi itu bukan sebuah utopia.

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces