Aku menulis maka aku belajar

Friday, December 7, 2007

Agama-agama dan HIV/AIDS

Penyebaran virus HIV dan jatuhnya korban akibat AIDS selama kurun waktu lima tahun terakhir ini makin memprihatinkan. Pemerintah dan berbagai organisasi non-pemerintah (ornop) yang bergerak dalam advokasi HIV/AIDS telah melakukan berbagai upaya untuk melakukan sosialiasi, diseminasi pengetahuan dasar, konseling, kampanye-kampanye pencegahan AIDS maupun mengantisipasi penularan virus HIV. Jika dicermati secara jeli, memang terasa sebagian hasilnya. Namun ketika hasil-hasil itu dikalkulasi dalam bentuk prosentase total populasi Indonesia dan akselerasi penyebarannya setiap tahun, maka – hampir-hampir – membuat kita [yang prihatin] merasa frustasi. Seluruh upaya tersebut dapat diibaratkan membangun istana pasir yang dapat dihancurkan oleh hempasan ombak dalam sekejap.

Globalisasi Penyakit

Persoalan HIV/AIDS bukanlah masalah internal kita di Indonesia, tetapi masalah global. Penyebarannya sangat halus dan tak terasa, namun berdaya destruktif yang mengerikan, luas dan jangka panjang. HIV/AIDS saat ini bisa dilihat sebagai fenomena tsunami sosial yang menerjang generasi manusia tanpa pandang bulu. Penjelajahan virus HIV tidak bisa lagi dibendung hanya pada lingkup klasifikasi sosial terbatas, namun sudah merambah ke seluruh strata sosial. Bahkan HIV/AIDS tidak lagi dilihat sebatas masalah medis belaka, melainkan sudah menjadi masalah sosial-politik-budaya mondial.

Terma “desa dunia” (global village) yang dipopulerkan Marshal McLuhan tahun 1960-an, awalnya hendak merefleksikan betapa perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi makin menyatukan umat manusia. Seluruh matra lokalitas terseret ke dalam arus globalisasi sehingga seolah-olah tak nampak lagi batas-batas perbedaan ras, etnis, budaya, ekonomi dan agama.

Sisi positifnya, pencitraan ini memandang dunia sebagai ranah tanpa batas dimana manusia melihat kepelbagaian mereka sebagai sebuah anugerah dan “orang lain” sebagai saudara/saudari, tanpa terkungkung dalam identifikasi artifisial nasionalitas, etnisitas dan religiositas. Sisi negatifnya, sekarang tampak jelas bahwa kekuatan-kekuatan globalisasi ternyata hanyalah transposisi “kolonialisme” dimana yang kuat dan kaya tetap menguasai seluruh ranah ekonomi dan politik. Keuntungan dari pasar bebas ternyata digunakan sebagai piranti eksploitasi kaum miskin dan gelombang westernisasi terbukti sama sekali tidak menghargai keanekaragaman tradisi dan sejarah lokal.

Sebagaimana kini kita hidup dalam “desa dunia”, kita pun melihat bahwa virus-virus penyakit tidak mampu lagi dikarantina hanya pada suatu lokalitas. HIV/AIDS adalah satu bukti bahwa umat manusia kini juga mengalami globalisasi penyakit. Pandemik ini telah menggerayangi seluruh permukaan bumi sehingga kita sekarang sedang mengalami krisis kesehatan terburuk dalam 700 tahun. Pertumbuhan ekonomi yang timpang makin mempertajam ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin. Dan karena jumlah orang miskin di dunia lebih banyak daripada orang kaya, maka penyebaran virus ini pun tak terbendung.

Menantang Peran Agama-agama

Dalam Breaking The Conspiracy of Silence (2004), Donald E. Messer mengatakan bahwa kita bisa mencatat dalam angka statistik global: di seluruh dunia 46 juta orang sudah terinfeksi; 7.000 orang meninggal dunia setiap hari; 16.000 orang terinfeksi setiap hari; lebih dari 20 juta orang sudah meninggal dunia; 65 juta orang diperkirakan akan meninggal dunia hingga tahun 2020 (hlm.xii). Daftar ini masih bisa diperpanjang per wilayah negara dan region. Namun, lanjut Messer, masalah HIV/AIDS bukanlah masalah statistik per se. Kita bisa tahu statistik, tetapi itu bukan realitasnya karena tingkat akselerasi penyebaran virus yang pesat dan sulit terdeteksi. Itu semua hanyalah upaya menggambarkan betapa HIV/AIDS sebenarnya – disadari atau tidak – telah menjadi ancaman bagi hidup keseharian kita. Setiap kita berpotensi terinfeksi virus HIV.

Namun, tidak setiap orang siap untuk menghadapi tsunami sosial ini. Salah satunya ialah karena kita masih terbelenggu dalam pola pikir bahwa HIV/AIDS hanyalah “penyakit” yang menyerang kelompok sosial tertentu dengan perilaku seksual beresiko tinggi. Oleh karena itu, isu HIV/AIDS adalah isu “najis” yang tidak boleh dibicarakan oleh masyarakat bermoral atau beragama. Salah persepsi itu mengafirmasi “kebisuan” agama-agama dalam menghadapi HIV/AIDS. Pada titik itulah Messer mencoba melakukan dekonstruksi terhadap paradigma berteologi [Protestan] yang selama ini dianggapnya telah membungkam suara profetis Gereja terhadap masalah HIV/AIDS.

Teologi AIDS, theologia religionum

HIV/AIDS tentu bukan masalah satu agama saja, tetapi masalah kemanusiaan universal. Sebagai yang demikian, agama-agama tidak bisa tinggal diam. Ada beberapa alasan mengapa agama-agama sangat berperan penting dalam memerangi HIV/AIDS: (1) agama-agama memiliki mandat spiritual; (2) agama-agama berjangkauan luas lintas kategorisasi sosial; (3) agama-agama memiliki tradisi keterlibatan komunitas; (4) agama-agama memiliki daya tahan yang lama. Mandat spiritual merupakan alasan pertama dan utama karena menyangkut teologi suatu agama. Kontribusi signifikan agama-agama dalam konteks HIV/AIDS hanya dapat terjadi ketika teologinya mampu membuka perspektif religiositas sebagai bagian dari pergumulan sosial. Oleh karena itu, memang dibutuhkan suatu reinterpretasi teologis secara kontekstual dalam menyikapi realitas penderitaan kemanusiaan yang disebabkan karena HIV/AIDS.

Tidaklah berlebihan jika dalam konteks HIV/AIDS agama-agama perlu merumuskan ulang secara bersama-sama Teologi AIDS sebagai bagian dari matra teologi agama-agama (theologia religionum). Artinya, setiap komunitas beragama terbuka untuk menggali kembali nilai-nilai teologis dan moralitas dalam perspektif yang bersifat relasional, bukan lagi doktrinal. Dari sanalah maka pertautan relasi agama-agama tidak lagi terperangkap dalam perdebatan “siapa yang paling benar”, tetapi bersama-sama menemukan kebenaran transendental yang saling menghidupkan. Tidak lagi terjerat pada argumentasi “keselamatan sorgawi”, tetapi bersama-sama membuka diri dalam sebuah gerak menyelamatkan “sejarah” masa depan kemanusiaan.

Jadi, berdasar keempat alasan esensial tersebut, agama-agama diharapkan mampu membangun sebuah kesadaran dan sikap kritis yang lahir dari pendasaran teologis yang kokoh. Dimulai dari proses penyadaran komunitasnya sendiri dalam menyikapi HIV/AIDS, dan kemudian memahaminya sebagai persoalan kemanusiaan yang kompleks dan karena itu mesti ditangani dalam semangat jejaring kemanusiaan universal. Tugas teologis utama agama-agama dalam konteks ini ialah menyingkapkan kebenaran dari suatu realitas dan merefleksikannya sebagai bagian dari panggilan manusia beriman untuk bertanggungjawab. Dengan lain perkataan, ada tuntutan untuk merumuskan kembali etika beragama kita di masa depan. Menurut Hans Jonas (1903-1993), etika tradisional (asal kehendaknya baik, dapat diandaikan akibatnya juga baik) tidak lagi memadai dalam tantangan masa kini. Situasi zaman sekarang membutuhkan pengembangan etika tanggung jawab. Selain sikap positif, etika tanggung jawab tidak terikat pada prinsip-prinsip tertentu. Hal ini misalnya tampak dalam tanggung jawab terhadap anak. Kita tidak berhutang budi apa pun terhadap anak. Kita tidak terikat oleh sebuah “kewajiban” terhadapnya, tetapi adanya anak yang membutuhkan bantuan membuat kita merasa bertanggungjawab.

Oleh karena itu, agenda misi keagamaan utama dalam perang melawan “terorisme global” ini ialah memecahkan kebisuan teologis dan sosiologis yang selama ini menghantui isu HIV/AIDS. Lantas, membangun sebuah komunitas beriman yang terbuka menerima kehadiran kaum marjinal korban HIV/AIDS dan memberdayakan mereka sebagai bagian dari panggilan iman setiap agama. Bukankah spirit profetik agama-agama adalah memanusiakan manusia sebagai citra Sang Khalik?

No comments:

Post a Comment

One Earth, Many Faces

One Earth, Many Faces